Hujan ( Part 2 )


Sisi lain seorang Ridwan

romnace_book_art_painting_of_hasome_man_b827-1pic by : http://www.flashcoo.com
“Bagaimana aku harus menghadapinya? Terkadang ia sangat keras, bicaranya juga sangat kasar padaku. Tapi, semalam, ia lebih kekanakan daripada anak-anak. Tak kusangka rumah tua ini membuatnya ketakutan."

 

=================================

Fajar itu menyingsing dengan indahnya. Mengurai sebuah harapan indah di hati Mutia, harapan akan datangnya perubahan. Ya, Mutia berharap kehadirannya bisa merubah segalanya. Merubah tingkah Ridwan yang kasar menjadi  sabar, merubah penyakit ibunya menjadi kesembuhan, juga merubah kecemasan di hati kakaknya kemarin malam menjadi kesenangan.

“Kak Radith, Mutia siap bekerja untuk Ridwan” kata-kata Mutia yang tiba-tiba mengejutkan Radith.

“Mutia serius?” Tanya Radith setengah tak percaya.

“Insya Allah” jawab Mutia meyakinkan.

Radith membalasnya dengan senyum.

“Tapi sebelumnya, Mutia ingin tahu, kenapa Ridwan begitu membenci perempuan? Apa kakak tahu alasannya?”

“Nggak tahu dek, dari dulu Ridwan nggak pernah cerita, hanya saja tingkahnya selalu aneh di depan perempuan, ia jadi kasar dan sangat keras, padahal yang kutahu, Ridwan itu sangat lembut, meyakiti semut saja sepertinya ia tak akan tega”

“Lalu aku harus bagaimana menghadapinya? Apalagi kemarin aku menamparnya, bagaimana nanti kalau ia membalas tamparanku?”

“Hahaha, Mutia…Mutia, sekasar-kasarnya Ridwan, dia tidak akan mungkin menamparmu, apalagi kamu  adikku, dijamin tidak akan berani. Anggap saja ini ujian praktek jurusan psikologi yang kamu cita-citakan, ok?”

“Hehehe, kakakku yang satu ini memang paling pintar menyenangkan hati orang, anggap saja aku calon sarjana psikologi yang kurang beruntung, belum kuliah tapi sudah praktek duluan, it’s ok, asal kak Radith bahagia, aku juga bahagia….” Mutia tersenyum, tak melanjutkan kata-katanya, ia memandangi Radith, entah kenapa saat itu ada rasa yang tak biasa yang coba ia tepiskan dalam diam.

“Terimakasih dek, aku juga akan bahagia jika Mutia-ku bahagia” jawab Radith, membalas senyum Mutia.

Dan kini, tibalah hari itu, hari menegangkan yang ditunggu-tunggu Mutia. Mutia menemui Ridwan dan menyatakan kesanggupannya bekerja untuk Ridwan. Dan benar kata Radith, ternyata Ridwan tidak membalas tamparan Mutia, hari itu dimulai dengan tanda-tangan kontrak surat perjanjian yang isinya antara lain, bahwa Mutia harus bekerja selama 1 tahun dan harus ikut kemanapun Ridwan pergi, jam kerja dimulai pukul 8 pagi sampai jam 5 sore, kecuali untuk momen-momen tertentu, diperbolehkan pulang larut asalkan ditemani Radith dan itupun harus konfirmasi terlebih dahulu, menanyakan kesanggupan Mutia, apabila dirasa membebani, maka Mutia berhak menolaknya. Radith yang jadi saksi perjanjian itu pun ikut andil menandatangani surat perjanjian itu.

“Alhamdulillah, terimakasih sudah mengijinkan adikku bekerja untukmu Ridwan” kata Radith.

“Sama-sama, aku juga berterimakasih padamu Radith” balas Ridwan dengan senyum.

“Jangan padaku tapi pada Mutia” tukas Radith.

“Terimakasih Mutia, dan terimakasih atas tamparannya kemarin, tolong jangan diulangi lagi ya” kali ini nada bicara Ridwan berubah jadi sinis dan ketus.

“Tergantung, tergantung sikapmu padaku nanti” Mutia tak kalah sinis dari Ridwan.

“Hai sudah jangan bertengkar. Kalian ini partner kerja, harus kompak!” bujuk Radith pada mereka berdua.

“Oh iya, karena ini hari libur, bagaimana kalau kita jalan-jalan bertiga, kuharap dengan begini kalian berdua bisa lebih akrab, deal?” Kata Radith lagi.

“Boleh, siapa takut?” Jawab Ridwan ”Bagaimana denganmu, Mrs. Judge?”

“Enak saja, sejak kapan aku punya panggilan Mrs. Judge?”

“Sejak kamu menamparku kemarin! Heheheheh”

“Hufffftt, dasar! Itu tidak lucu!” balas Mutia.

“Yang penting kamu marah, itu saja sufah membuatku senang, puas rasanya!”

“Ih, menyebalkan. Ganti tidak!” bentak Mutia.

“Nggak!”

“Ganti kubilang!”

“Nggak!”

“Ganti!”

“Dibilang nggak ya nggak, sekali nggak tetep nggak. Nggak nggak dan nggak. Titik!” Ridwan benar-benar tak mau mengalah.

“Hiiiiihhhhhh, dasar ya, kekanak-kanakan!” Mutia gemas menghadapi Ridwan.

“Udahan dong, jadi pergi nggak ni? Kalo nggak aku pergi sendiri ni” Tanya Radith lagi.

“Jadilah” jawab Ridwan dan Mutia hampir bersamaan.

“Hahahaha, ternyata ada juga hal yang kompak dari kalian berdua, sama-sama suka jalan-jalan!” Radith terkekeh-kekeh melihat tingkah Ridwan dan Mutia yang menurutnya sangat lucu.

 

Hari itu berlalu dengan ceria, seolah mengusung senyum di hati Radith, senyum kebahagiaan karena akhirnya Mutia mau menerima pekerjaan itu. Ada sedikit kelegaan di hatinya, lega karena ia bisa membalas kebaikan Ridwan padanya selama ini, meski mungkin butuh waktu lama, tapi Radith yakin, Mutia pasti mampu menyembuhkan trauma sahabatnya itu.

Hari pertama, masih terlalu asing bagi Mutia, Ridwan tetap saja memanggilnya dengan sebutan Mrs. Judge, itu membuat Mutia menjadi geram. Tapi aneh, karena justru kegeraman Mutia membuat Ridwan senang, entah kenapa ia merasa sangat terhibur dengan kemarahan gadis cantik berlesung pipit itu.

Hari kedua, masih sama, berlalu dengan cekcok mulut yang ringan, dan tawa Ridwan kembali menggema di hatinya, tawa kemenangan saat bisa membuat Mutia semakin geram.

Hari ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, tak banyak perubahan yang berarti, masih saja diselingi dengan adu mulut dan cekcok ringan.

Hari-hari menyebalkan, hari-hari penuh kesabaran, Hari-hari yang berlalu dengan sangat pelan. Waktu yang biasanya berjalan, rasanya hanya bisa merangkak perlahan, mungkin begitulah perasaan Mutia saat ini.

Sangat kontras dengan Ridwan, entah kenapa ia memperoleh kesenangan saat bersama Mutia, apalagi ketika berhasil membuat Mutia marah, perasaan senang itu semakin bertambah. Perasaan yang belum pernah Ridwan rasakan sebelumnya.

Hari yang merangkak pelan itu akhirnya berjalan. Berganti minggu ke minggu, dan kini beranjak ke bulan. Hari ini, tepat sebulan Mutia bekerja untuk Ridwan. Hari yang bertepatan dengan ultah Ridwan, karenanya Ridwan memutuskan untuk mengadakan acara tasyakuran di Villa-nya di Bandung, Villa yang tergolong unik dan antik, karena hampir seluruh bahan dasarnya terbuat dari kayu jati yang sudah diberi warna cokelat keemasan. Segala persiapan telah dilaksanakan, Ridwan juga telah mengundang beberapa anak yatim, piatu, juga yatim-piatu untuk menghadiri acara tersebut.

“Terimakasih ya” kata Mutia tiba-tiba. Ia menghampiri Ridwan yang sedang termenung di depan sungai kecil yang penuh bebatuan besar dan cukup deras alirannya. Sungai itu tepat berada di belakang Villa.

“Terimakasih untuk apa?” Tanya Ridwan.

“Karena hari ini mengijinkanku tahu, bahwa kamu masih punya sisi baik, kamu mengundang mereka, anak-anak kurang beruntung itu di hari ultahmu” jawab Mutia singkat.

“Oh itu, sama-sama, aku ini kan juga anak piatu, ibuku sudah meninggalkanku sejak aku lahir ke dunia, makhluk indah itu, aku sangat menyayanginya, beliau mengorbankan hidupnya untuk melahirkanku, bagiku hanya beliau perempuan terindah di dunia. Mungkin nggak akan pernah ada yang lainnya.” Nada bicara Ridwan serius.

“oh, maaf aku nggak tahu, aku nggak bermaksud untuk…..”

“Nggak apa-apa koq, santai saja, kamu lihat wajah-wajah mereka tadi? Seperti tanpa beban, mereka belum begitu mengerti apa arti kesepian, kadang aku merasa, mereka lebih beruntung dari aku, meski mereka hidup dalam kekurangan, setidaknya keluarga mereka masih meyayangi mereka, selalu berada di samping mereka, mereka masih bisa mengadu saat kesakitan, mereka masih bisa menangis saat ketakutan, sedang aku…” Ridwan tak meneruskan kata-katanya. Ada gurat-gurat sedih di wajahnya yang coba ia sembunyikan.

Tapi itu terlambat, karena sepertinya Mutia menyadarinya, ia ingin tahu dan semakin ingin tahu.

“Apa? Kamu kenapa? Kenapa tidak dilanjutkan? Aku ingin tahu, siapa tahu saja, curhat darimu bisa membuat trauma masa kecilmu itu berkurang”

“aku nggak ingin mengatakannya, ini belum saatnya Mrs. Judge, itu tugasmu dan kamu harus mencari tahu sendiri, mungkin akan kukatakan suatu hari nanti tapi bukan sekarang, nanti saat aku bisa mempercayai wanita dan tidak membenci lagi” balas Ridwan sembari meninggalkan Mutia.

“Tunggu, hai jangan pergi dulu. Aku belum selesai bicara, kau mau kemana, aku ikut!”

Mutia berlari kecil mengejar Ridwan. Ia masih saja membujuk Ridwan untuk mengatakan apa yang ada di hatinya saat itu, lagi dan lagi bahkan berkali-kali, tapi Ridwan malah memanfaatkan moment itu untuk membuat Mutia jengkel dan geram.

Tanpa sadar sudah setengah jam perjalanan yang mereka lalui.

Kini, di depan mereka ada sebuah danau dikelilingi perkebunan teh yang hijau dan menyejukkan mata. Di sekelilingnya penuh dengan rerumputan dan semak, juga bunga-bunga liar khas daerah dataran tinggi berwarna-warni yang sama tingginya bagaikan pagar alami yang sangat cantik dan asri, ada sebuah batang pohon yang sengaja dibengkokkan dan sebagian jatuh ke danau, batang itu biasa digunakan untuk duduk–duduk ketika memancing atau sekedar berpose ketika jepretan kamera mulai menangkap bayangan mereka dalam sekian detik kecepatan cahaya.

“Wow, subhanallah, indah sekali tempat ini….” Celetuk Mutia tiba-tiba.

“Kamu suka?” Tanya Ridwan.

“Iya, ini indah sekali, sangat cantik dan indah. Rasanya tempat ini penuh kehangatan dan kasih sayang” Mutia tampak takjub melihat pemandangan indah di hadapannya itu.

“Itulah jeleknya perempuan, sedikit-sedikit sudah kagum, biasa aja kali…”

“Itu sih bukan jelek. Itu namanya peka. Tempat ini memang indah. Aku yakin, arsitek danau ini pasti orang yang penuh dengan cinta dan kehangatan, nggak seperti kamu.” tukas Mutia mulai sinis.

“Terimakasih atas pujiannya Mrs. Judge, karena akulah arsitek tempat ini, aku ini lulusan arsitek lho. Tapi, baru kali ini aku mendengar pujian tentangku yang penuh cinta dan kasih sayang, hehehehe, rasanya pujianmu itu seperti nyanyian paling merdu sedunia” Ridwan tersenyum penuh kemenangan.

“Up’s, kalau begitu aku salah. Aku tarik kata-kataku kembali, kalau benar kamu arsitek tempat ini, berarti kebalikannya, danau buatan ini menunjukkan kalau kamu sangat kesepian, kamu butuh cinta dan kasih sayang, kamu juga nggak pernah mendapatkannya, karena itu, danau ini sebagai pelarian, pelarian bagi pria yang kesepian, iya kan?”

“Kamu nggak berhak berbicara seperti itu padaku. Jangan bersikap seolah kamu tahu segalanya. Aku benci dengan perempuan seperti itu!” nada bicara Ridwan agak tinggi kali ini, ia menatap Mutia dengan tatapan geram dan segera pergi meninggalkannya.

Astaghfirullah, apa yang kukatakan, aku ini kenapa ceroboh sekali, aku pasti sudah melukai perasaannya sampai ia menatapku seperti itu, tatapan yang belum pernah kulihat selama sebulan ini. Aku harus bisa mengejarnya, tapi kemana ia? Kenapa larinya cepat sekali?

Mutia berputar-putar kesana-kemari, ia bahkan tak sadar kalau ia sudah tersesat di hutan buatan milik keluarga Ridwan.

“Ridwaaaaan, aku minta maaf, aku nggak bermaksud bicara seperti itu, aku hanya bercanda tadi, tolong jangan dimasukkan ke hati, Ridwaaannnn, pleeeeeeeease, maafin aku.” Setengah berteriak Mutia berbicara sendirian di tengah hutan, tapi tetap saja tak satupun jejak Ridwan yang ia temukan.

Ia masih mencari di mana Ridwan, kini ia baru sadar kalau dirinya tersesat. Tapi entah kenapa itu tak begitu penting lagi, baginya saat ini yang terpenting adalah menemukan Ridwan.

“Oh, di situ kau rupanya? Ridwan, aku…” Mutia tak meneruskan kata-katanya, ia kaget melihat perubahan wajah Ridwan, wajahnya pucat pasi, ia terduduk lemas di tanah, matanya tak henti menatap ke satu arah, sebuah rumah tua yang jaraknya kira-kira 15 meter dari tempat Mutia berdiri sekarang.

“Ridwan kamu kenapa? Kamu nggak apa-apa kan? Ridwan, jawab aku!” Mutia memandangi tingkah Ridwan yang aneh, kini Ridwan semakin parah, tubuhnya menggigil, ia seperti sedang ketakutan!

“Kenapa langit tiba-tiba mendung ya? Bagaimana ini? Jangan hujan dulu, kumohon, kasihan Ridwan, ia sedang ketakutan, ia sepertinya tak sadar aku ada di sini, kenapa dengannya? Membuatku cemas saja” gumam Mutia dalam hati.

“Ridwan sadarlah, jangan begini, jangan membuatku cemas, ayo sadar. Hujannya mulai turun, bagaimana ini?” Mutia kebingungan.

“Ridwan ayo bangun, kita harus berteduh di rumah itu, ayo cepat! Sebelum hujannya semakin lebat, cepatlah bangun!” bujuk Mutia.

“Nggak, aku nggak mau ke sana!” tukas Ridwan dengan nada tinggi.

“Tapi kita harus ke sana, ayolah Ridwan, nanti kau bisa sakit kalau kehujanan, percayalah padaku, ada aku, kamu nggak perlu takut. Aku janji nggak akan meninggalkanmu sendirian” Mutia masih berusaha membujuk Ridwan.

“Janji dulu. Kamu harus janji nggak akan pernah meninggalkanku sendirian di sana. Janji dulu padaku!”

“Iya, aku janji.”

Akhirnya Ridwan mau juga berteduh di rumah tua itu, rumah tua misterius yang selalu membuatnya trauma itu akhirnya harus ia datangi kembali. Apa yang akan terjadi?

 

 


 

 

“Bagaimana aku harus menghadapinya? Terkadang ia sangat keras, bicaranya juga sangat kasar padaku. Tapi, semalam, ia lebih kekanakan daripada anak-anak. Tak kusangka rumah tua ini membuatnya ketakutan. Tiba-tiba saja ia memelukku erat sekali, tangannya dingin sekali, tubuhnya gemetar sambil bergumam “mama kumohon, keluarkan Ridwan dari sini, Ridwan janji nggak akan nakal lagi, jangan tinggalkan Ridwan di sini, Ridwan takut ma, takut sekali, jangan dikunci pintunya ma…mama tolong Ridwan, Ridwan sayang mama, Ridwan akan jadi anak yang baik, tolong ma jangan tinggalkan Ridwan sendirian!” sambil menangis tersedu.

Tubuhnya semakin bergetar hebat, pelukannya juga semakin erat, aku hampir-hampir tak bisa bernafas dibuatnya, lalu tiba-tiba ia pingsan. Bukan, bukan pingsan, tapi seperti tidur, kucoba membangunkannya berkali-kali tapi tak juga ia sadar.

Apa ini yang disebut trauma? Ya Tuhan, kasihan sekali ia….

Dan kini, saat fajar itu kembali, ia ada di pangkuanku, masih terlelap dalam tidurnya. Kupandangi wajahnya,  ia seperti anak kecil yang haus sentuhan kasih sayang, wajahnya yang innocence terlihat begitu menawan,  hatiku jadi bertanya-tanya, kenapa ia berteriak-teriak seperti itu? Apa dulu ibunya memperlakukannya dengan jahat? Atau apa? Bukankah ia bilang ibunya sudah meninggal sejak ia lahir?

Ah, lebih baik aku tidak berburuk sangka, semoga suatu saat nanti aku tahu kejadian sebenarnya agar aku bisa membantunya, aamiin” tutur Mutia dalam hati.

 

 

 

 

TO BE CONTINUED

 

2 respons untuk ‘Hujan ( Part 2 )

Tinggalkan komentar