Begitu mudah…


terima_kasih_by_rekayuu-d8tofzx
Pic by rekayuu.deviantart.com

Lagi lagi aku mau bilang, aku tak pandai… Saaangat tak pandai berpuisi, maafkan.

Tapi, demi sebuah persembahan, aku harus melakukan, harus dan wajib bagiku, juga untuk sebuah terimakasih yang tak terhingga, maka hukum wajib dan harus itu menjadi memaksa!

Begitu mudah aku terbangun di pagi hari, bertemu embun kesayanganku untuk kemudian menekurinya dan mengajaknya berbicara,

“Embun, katakan pada-Nya, terimakasih, aku bisa menghirup udara pagi ini tanpa takut, tanpa perasaan was-was ada yang mengintai atau mencoba melenyapkanku”

Begitu mudah aku bertemu jingga, jingga yang sama, yang kemarin sempat kutitipkan salam perihal rinduku pada seseorang,

“Jingga, bisakah kau sampaikan pada Robb-ku perihal bahagia? Tolong katakan pada-Nya, aku bahagia. Bahagia untuk diriku, bahagia untuk orang-orang di sekitarku yang juga bisa menikmati kebebasan sepertiku…berteriak, berlari, bersyukur, bersekolah, bekerja, bepergian, tertawa tanpa kekang, tanpa wajah-wajah asing dengan mata biru atau mata sipit dengan seragam lengkap mereka yang siap membombardir, menghancurkan sendi-sendi hak asasi dan kebebasan kita, sungguh jingga, aku sangat bersyukur karenanya!”

Begitu mudah aku duduk tenang di Botanical Garden Jababeka II Golf Residence dengan earphone musik instrumental piano Yiruma favotite-ku dengan kedua tangan khusyuk melanjutkan bacaan buku yang kemarin sempat tertunda karena UAS, Kitab Cinta Yusuf Zulaikha, sesekali kurenggangkan otot leher dengan menggerakkannya ke kanan ke kiri, atau merentangkan kedua tangan sejauh-jauhnya sejauh yang kubisa sambil memandang lapangnya rumput hijau, pohon nagasari dan pohon turi yang berjajar rapi dengan indahnya, sesekali kuarahkan pandanganku ke langit…ah, lagi lagi aku mau berterimakasih!

“Tuhan, terimakasih atas rahmat dan karuniamu, sungguh, tidak ada yang lebih indah dari ini…tidak ada serdadu, tidak ada penindasan, tidak ada kerja rodi, tidak ada lagi pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pelecehan terhadap bangsa ini, terimakasih atas 71 tahun ini tetap setia menjaga negeriku. Negeri yang selalu kucintai dengan caraku sendiri.

Begitu mudahnya aku bertemu teman baru. Ya, ternyata dari tadi ada yang memperhatikan tingkah anehku, senyum-senyum sendiri ke arah langit, manggut-manggut menikmati musik dan bacaan, ah jadi malu.

“Hai, boleh kenalan?” Ia mencoba membuka pembicaraan. Entahlah kurasa ini aneh, tapi setiap ke tempat ini biasanya aku dapat kenalan baru, dan aku senang bisa bersosialisasi dengan mereka.

“Oh boleh,” kataku meng-iya-kan.

“Aku Randy (nama samaran), asyik sekali nampaknya dengan bukumu itu, apa judulnya?”

“Aku Cinta,” kataku sambil menyodorkan buku itu ke sisinya agar ia bisa membaca sendiri apa judul buku ini.

“Wuah sepertinya menarik, pengin baca juga.”

“Suka novel tah?”

“Tidak begitu, tapi melihat kau membaca dengan seriusnya sambil senyum-senyum sendiri, aku jadi tertarik, seseru itukah sebuah buku?” Ah ternyata ia memperhatikanku dari tadi, malunya aku.

“Owh soal senyum tah? Itu sebenarnya, aku sedang berbicara dengan Tuhanku, aku sedang berterimakasih atas hari ini.

“Berterimakasih, untuk apa?”

Untuk kebebasan, untuk kemerdekaan, untuk setiap detik tanpa ketakutan, tanpa rasa sakit, tanpa airmata, sungguh itu hal yang menyenangkan! Aku tak bisa membayangkan bagaimana dulu bangsa ini menangis, tidak bisa bersekolah, kelaparan, mayat berserakan karena kerja rodi, pelecehan dan pembodohan terjadi di mana-mana!” Aku tak melanjutkan perkataanku, ada yang tercekat di tenggorokan, tiba-tiba saja ingin menangis…tapi segera kutepis dengan menghadapkan wajahku ke atas, air mataku kini tak terlihat lagi, syukurlah.

Randy diam saja. Entahlah apa yang ada di pikirannya waktu itu.

“Kau seorang guru?” Tebaknya.

“Bukan, aku hanya seorang tukang ketik saja, di perusahaan biasa, tak ada yang spesial dariku.”

“Oh aku salah tebak rupanya, tapi aku senang berkenalan denganmu Cinta…Cinta, kurasa nama itu cocok untukmu, kau unik menilai sekitar dengan cintamu.” Katanya sambil tersenyum.

“Hey, please stop! Jangan dilanjutkan, aku tidak suka dipuji, kurasa itu tak ada gunanya, hanya akan membuatku besar kepala saja…cari saja kelemahanku, kejelekanku, aku akan berterimakasih karenanya.”

Randy tersenyum lagi. Lalu ia kembali memperhatikan buku bacaanku.

“Mau pinjam? Tentu boleh, tapi setelah aku menyelesaikannya ya, bagaimana?”

“Boleh, tapi bagaimana aku tahu kapan kau selesai baca? Bagaimana jika aku meminta nomor ponselmu saja, bolehkah?”

“Hmmm, maaf tidak bisa, aku tak biasa memberikan nomor ponselku dengan orang yang baru kenal…begini saja, setiap minggu aku selalu kesini, entah sambil baca buku, entah lari pagi, kalau mau, kesini saja lagi hari minggu pagi, bagaimana?”

“Tapi begitu banyak orang di sini, Cinta, kalau tidak ketemu bagaimana?”

“Berarti itu takdir, takdir kita memang belum boleh bertemu lagi.”

“Gadis aneh!”

“Owh terimakasih atas pujiannya.”

“Are you a moslem?” Tanyaku lagi.

“Insya Allah,” jawabnya singkat.

“Maukah bersyukur bersamaku?”

“Bagaimana caranya?”

“Yuks baca Al-Fatihah untuk memperingati 17 Agustus ini.”

“Ayuk.”

Lalu kami berdua terdiam khusyuk di tiga menit itu, dengan Al-Fatihah di hati kami masing-masing.

 

Subhanallah,

Walhamdulillah,

Wa laa ilaa ha illallah,

Wallahu akbar.

Terimakasih Tuhan, telah Engkau ijinkan Indonesia-ku merdeka 71 tahun ini.

35 respons untuk ‘Begitu mudah…

      1. Hahahaha..sayang banget kl hr Minggu diisi tidur to mas, ayo bangun bangun bangun, jangan2 skr lg tdur jg ni hmmm *menyelidik.

        Salam merdeka mas Fattah! ^__^7

        Suka

Tinggalkan komentar