Aku juga Punya Hati – Bagian ke 3


100 Writing Prompts Challenge

Days #2 – Treat (Chapter 3)

 

Sebelumnya

Satu minggu kemudian.

Acara yang dinanti-nanti ibuku akhirnya tiba. Aku akan melepaskan status single-ku di usia ke 25. Seharusnya bunyi alunan lagu Maher Zain kesukaaanku yang sedang kudengar sekarang, atau alunan lagu Nancy Ajram – Enta Eih, Fi Hagat, dan Wana bin Ideik yang mengalun merdu di telingaku. Tapi…aku tak mendengar semua itu. Yang kudengar sekarang adalah desir pantai, suara ombak, cericit burung yang sedari tadi bersautan, dan pasir gemerisik yang mencoba menggelitik kaki mungilku. Sekarang aku bahkan telah pergi sejauh 15 kilometer ke arah selatan dari desa kelahiranku, desa wisata yang terkenal dengan kerajinan kulitnya sejak tahun 1970 itu. Ya, sekarang aku berada di pantai yang katanya paling populer di Yogyakarta, Parangtritis. Aku, Cinta, memutuskan untuk pergi di hari pernikahanku. Entahlah, aku kalut, tak bisa lagi berpikir jernih, akhirnya aku lari ke sini berharap seseorang yang dulu pertama kali mengajakku ke sini akan datang, membujukku kembali pulang, meski jawabanku tetaplah tidak.

Aku tersenyum mengingat kejadian beberapa tahun silam.

AKU PASTI AKAN MEMBUATMU MENCINTAIKU DULIM, saat aku meneriakkan kalimat ini,

COBA SAJA KALAU BISA! JADI KEREN DULU, PAKE HIJAB DULU, NANTI SAYA AKAN PERTIMBANGKAN APAKAH AKAN MENYUKAIMU! Biasanya, si DULIM akan membalasnya dengan teriakan ini…

“Cinta…kau di sini rupanya.”

Kedatangannya membuyarkan lamunanku.

Tepat seperti perkiraanku, ia yang kuharapkan akhirnya datang.

“Ayo pulang, ibumu sudah menunggu, beberapa menit lagi akad nikah akan dilaksanakan, tidak baik membuat orang tuamu mencemaskanmu, Cinta.” Ia mencoba menarik lengan bajuku tanpa menyentuh kulitku.

Aku melepaskan lengan bajuku dari genggamannya. Lalu menggeleng pelan.

Ia tersenyum. Lalu mendekat.

“Jangan…jangan bicara sepatah kata pun, Cinta tidak ingin mendengarnya.”

Ia masih tersenyum…dan mulai membuka mulutnya.

“Apakah Cinta tahu, seperti apa wajah calon suami Cinta?”

Aku menggeleng.

“Apakah tidak ada sedikit pun rasa penasaran di hatinya Cinta?”

Aku menggeleng lagi.

“Kenapa?”

“Karena Cinta…Cinta juga punya hati mas.”

“Kalau punya hati, ayo kembali…”

Aku menggeleng untuk kesekian kalinya.

Ia masih saja membujukku.

Aku menunduk, meremas-remas kedua tanganku sendiri. Lalu, aku menangis sejadinya. Punggungku sampai berguncang karenanya.

“Maaf, Cinta bukan orang yang baik. Maaf, Cinta tidak bisa menjadi seseorang yang mas Rangga harapkan. Maaf, karena Cinta ini ternyata santriwati yang gagal, yang kabur di hari pernikahannya. Maaf mas…Cinta tidak bisa kembali.”

“Hhhhh…ya sudahlah, kalau Cinta memang tidak mau kembali, saya bisa apa? Tapi, sejujurnya, saya jadi bingung, saya akan menikah dengan siapa hari ini, karena calon istri saya malah kabur di hari pernikahannya.”

“M..mm…maksudnya?”

Ia tersenyum lagi. Wajahnya semakin bersinar saja karena senyuman itu. Ia mengambil sebuah foto dari saku baju kemejanya.

“Ini…kamu kenal dengan lelaki di foto ini?”

“Ini kan foto mas Rangga…”

“Iya, dan itu adalah foto calon suami kamu, Rangga Syarif Muhammad, adalah nama lengkapnya.”

“Mas…mas tidak sedang berbohong, bukan?”

“Untuk hal seserius ini, saya tidak biasa berbohong, Cinta…”

Aku lalu menunduk, tak tahu harus bagaimana, tapi…di lima belas menit itu aku menangis sesenggukan. Aku keluarkan semua beban di hatiku yang kutahan selama 10 tahun ini. Ia masih duduk di sebelahku, menungguku menangis dengan sabar. Tanpa sepatah kata pun. Lalu, setelah aku puas menangis, ia mengajakku pulang.

“Ayo kita pulang, ayo kita menikah! Masih maukah Cinta menikah dengan saya yang lebih tua 10 tahun dan berstatus duda beranak satu ini?”

Aku mengangguk mantap dan kembali menangis.

“Ingin sekali saya menyeka airmatamu Cinta, tapi maaf belum boleh sekarang…”

“Boleh saya tahu, kenapa tadi Cinta menolak untuk pulang? Jawablah Cinta, saya ingin mendengar jawaban itu dari mulut Cinta…”

“Karena Cinta tidak bisa menikah dengan orang lain di hadapan mas Rangga…Cinta tidak bisa membayangkan itu terjadi mas.”

“oh…” Hanya “oh” yang keluar dari mulutnya. Lalu ia tersenyum lagi. Namun senyumnya kali ini tampak bahagia.

“Lalu, kenapa harus menerima perjodohan ini tanpa mengetahui siapa calonnya?”

“Karena Cinta tidak bisa mencintai orang lain lagi selain mas Rangga. Lalu Cinta berpikir, jika mas Rangga tidak kembali, siapa pun lelaki pilihan ibu, Cinta akan terima, Cinta percaya, insya Allah, lelaki pilihan ibulah yang terbaik untuk Cinta karena Cinta tahu seorang ibu tidak mungkin menjerumuskan anaknya. Maka Cinta terima.”

“Ternyata, kamu sudah banyak berubah, saya tidak salah jika meminangmu, kamu baik, cantik, berhijab, dan sholehah.”

Mukaku memerah seketika. Ia memperhatikanku, lalu tertawa riang.

“Oh hahaha, jadi mukamu memerah karena itu to? Saya baru sadar sekarang…”

“Bukan bukan, bukan karena itu mas, bukan! Ini karena kurang tidur saja!” aku mengelak sebisaku.

“Kamu lucu. Saya baru tahu kalau saya bisa membuat seorang Cinta bersemu merah pipinya, dan nyeletuk sendiri ngomong sesuatu tentang saya kalau sedang grogi. Hmmm, membacamu seperti menemukan sebuah buku, sungguh saya semakin larut di dalamnya dan ingin tahu lebih dalam lagi. Tuh kan, pipinya makin memerah lagi? Haha.”

“Hah, masa’? Mas Rangga bohong! Tidak mungkin merah…sudah mas…sudah, jangan menggoda Cinta lagi!”

“Iya..iya, ini sudah loh. Boleh saya tanya satu hal lagi?

“Boleh, apa mas?”

“DULIM itu kepanjangan dari apa ya, Cinta. Saya sudah browsing-browsing dan cari tahu, bahkan tak jarang saya bertanya pada teman saya, tapi saya tetap tidak menemukan jawabannya.”

“DUda aLIM.”

“Hah, apa? Jadi itu toh singkatannya? Haha…hahahahaha…Cinta…Cinta…kamu itu memang benar-benar lucu ya?” Kulihat wajahnya terlihat bahagia.

Alhamdulillah. Aku, seorang Cinta yang biasa saja bisa menemukan pria baik sepertinya. Ternyata, Cinta sadar dengan formula doa. Bahwa sebuah doa pasti akan dikabulkan. Namun dengan cara yang unik, terkadang secara langsung. Namun, tak jarang pula dengan cara tidak langsung, cara yang berbeda, hingga membuat kita lebih bersyukur karenanya. Sebuah luka mungkin ada, mungkin juga akan menyertai perjalanan panjang kita dalam mencari cinta. Tapi yakinlah, Allah lebih tahu mana takdir yang paling baik untuk hamba-Nya. Bahkan kini aku pun percaya, seandainya aku tidak ditakdirkan dengan ia, aku juga akan sama bahagianya seperti sekarang ini. Tertawa bebas, lepas, begitu bahagia, hingga tanpa sadar aku merasa, aku tidak pernah terluka, karena Allah telah menghapus semuanya, semua luka dengan bahagia.

Tamat

4 respons untuk ‘Aku juga Punya Hati – Bagian ke 3

Tinggalkan komentar