My Diary “Belajar dari Garam”


Rahasia kecil, 1316 kata


100 Writing Prompts Challenge

Days #4 – Salt

Curhatku tentang garam
sumber gambar : http://www.katasaya.net

07 Februari 2017, 00.24 am

Dear Diary,

Ini adalah tulisan ke 4 ku untuk tantangan 100 menulis cepat. Aku telah membuat cerpen untuk days 1, lalu cerbung 3 episode untuk days 2, dan kemarin aku membuat puisi untuk days 3. Dan hari ini, entah kenapa aku tertantang untuk membuat days 4 dengan tema diary.

Meski aku tahu, diary artinya adalah membuka sebuah rahasia kecil. Dan meski aku juga paham, bahkan sahabat Rasulullah saw mengingatkan :

Jangan menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak butuh itu, dan yang membencimu tidak percaya itu. (Ali bin Abi Thalib)

Tapi aku sungguh tertantang ingin mengatakan rahasia kecil ini.

Diary,

Apa kau tahu, aku pernah punya soulmate. Jika kau tanyakan sejak kapan?

Dengan singkat akan kujawab : sejak lahir.

Ia adalah bagian dari diriku, diary. Aku yang terpaut beberapa bulan lebih dulu lahir ke dunia, lalu ia lahir setelahnya. Istilah orang Jawa mengatakan “kesundulan”—jarak kelahiran antara dua anak terlalu dekat. Aku yang harusnya minum ASI secukupnya, namun harus diganti dengan susu formula karena ibuku hamil lagi. Beliau—ibuku—pernah bercerita, betapa kurusnya aku waktu masih bayi. Aku begitu kurus seperti bayi kurang gizi. Agaknya meski susu formula sudah penuh nutrisi, tapi tetap saja, ASI-lah yang terbaik.

Siapa bilang?

Lah ini aku bukti hidupnya, aku mengalaminya semasa kecil dulu, semasa masih dalam gendongan, semasa bayi.

Dan kau tahu, apa yang terjadi setelah itu diary?

Samar-samar aku mengingat, adek perempuanku ini bandel tak karuan, pernah aku dipaksa harus naik di kursi yang bisa diputar, lalu ia memutar kursi itu sangat cepat, saking cepatnya hingga aku terpelanting dari kursi dan jatuh. Aku ingat waktu itu tak sempat menangis, adekku pasti akan kena marah dan aku tidak akan tega, pikirku. Tapi seketika itu adekku menangis kencang, lalu ibu datang, jadilah aku yang diomelin sekencang-kencangnya oleh ibu…

“Cinta, harus bisa jaga adeknya dong, kenapa Nunuk dibuat menangis lagi?”

Jujur diary, waktu itu aku cuma bengong laiknya orang bodoh, duuuhhh, koq jadi kebalik gini ya? *sambil nyengir dan ngangguk saja waktu ibuku mengomel.

Kami mirip, kata sebagian orang. Ah, padahal menurutku sih nggak, beda koq, beda yakin!

Kami sering dibelikan baju seri kembar, sejak kecil. Sampai usia SMU pun, ibu kalau beli baju lebaran selalu tema “kembar”. Pernah, kami berdua ngambek dan tak mau memakai baju kembar, tapi akhirnya, kami yang masih anak bawang ini menurut juga dengan perintah ibu. Tema kembar pun kami pakai lagi.

Ia yang ekstrovert. Aku yang introvert—dulu. Ia yang cantik. Aku yang biasa. Ia yang bongsor. Aku yang kecil. Ia yang tinggi. Aku yang pendek. Ia yang humble dengan teman lawan jenis. Aku yang memilih bersembunyi atau lari ketakutan bila ada pria yang mendekati.

Ia soulmate-ku. Selama ada ia, aku tak perlu jadi ekstrovert. Ia tempat curhatku. Selama ada ia, aku sungguh tak membutuhkan orang lain lagi. Ia adekku, temanku, sahabatku, kembaranku, tempat paling nyaman untuk bercerita apaaaaa saja. Ia orang di dunia ini no. 2 yang paling kukasihi setelah ibu—ayah di no. 3, ups, maaf ayah, semoga tidak pernah membaca tulisan sembrono ini. Heee.

Kebiasaannya yang suka memakai bajuku tanpa izin dulu selalu membuatku mengoceh. Tak jarang pakaian dalam kami tertukar. Kalau sudah begini, aku akan mengoceh sejadinya. Ia hanya diam saja. Agaknya diary, sifat mengocehku bermula dari ia. Haha. Kami tidur di kamar yang sama, bekerja di tempat kerja yang sama. Satu malam rasanya tak lengkap tanpa aku tidur dengan memeluknya. Ia pintar, sedang aku biasa saja. Hasil ujian toefl-nya ketika SMK adalah 500 lebih, ia bahkan mendapat beasiswa di Universitas Negeri waktu itu jika berniat melanjutkan kuliah. Tapi…lagi lagi kita memang berbeda. Aku yang lebih rela kehilangan pacar daripada prestasi menurun. Aku yang lebih suka menolak pacaran semasa SMU karena pacar bagiku hanyalah pengganggu saja, hal negatif yang akan menghancurkanku. Ia malah memilih tak mengambil beasiswa itu, beberapa tahun setelahnya ia lebih memilih menikah.

Dengan sangat hati-hati, ia meminta izinku,

“Kak Cinta, boleh Nunuk menikah lebih dulu?”

Aku diam saja waktu itu. Lalu ia melanjutkan…

“Tapi tapi…kalau kak Cinta nggak ngebolehin, Nunuk nggak akan nikah, Nunuk akan terima dengan lapang keputusan Kak Cinta.”

Diary, apa kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu?

Bukan. Bukan itu. Aku bukan tidak menyetujuinya diary. Hanya saja…aku merasa akan kehilangan soulmate-ku. Aku merasa duniaku hampir runtuh. Muncul banyak pertanyaan di benakku, aku akan bersahabat dengan siapa nanti? Aku akan jalan-jalan dengan siapa? Aku akan curhat dengan siapa kalau aku penat? Apakah ada seseorang yang akan bisa menggeser kedudukannya? Apa yang harus kulakukan tanpanya?

O, sungguh, waktu itu aku merasa kehilangan sebagian duniaku. Rasanya berat dan menyesak di dada.

Waktu berlalu. Detik berdetak. Jam berputar. Hari berganti. Minggu mulai merambat. Bulan juga berjalan. Meski pelan, tak ada alasan yang bisa menghambat laju mereka, aku sadar benar itu diary.

Aku ingat, aku pernah dibawakan hadiah kerudung dengan manik-manik etnik di ujungnya. Ia yang sedang hamil tua memasang manik-manik itu semalaman, kata ibu. Ah, tak terasa air mataku menetes sendiri mendengarnya.

Ia pernah meminta maaf setengah menyesal dan berkata…kak Cinta, menikahlah segera ya, dalam sujudku, aku tak pernah lupa mendoakanmu, kak.

Aku malah tertawa saja waktu itu.

“Bukan salahmu, Nuk. Aku hanya sedang menikmati kesendirianku.”

Diary

Kini aku mulai percaya dengan kisah Bapak tua bijak, garam, dan telaga. Aku dulu yang takut setengah mati kehilangan satu-satunya sahabat, tiba-tiba terdorong kondisi untuk berubah. Aku yang introvert berubah jadi ekstrovert. Lalu berselang beberapa bulan, aku kembali bertemu dengan sahabat SMU-ku, ia di Jakarta, aku di Cikarang, namun pertemuan demi pertemuan selalu kami sempatkan. Aku mulai membuka diri. Aku mulai cerewet. Ketika sadar cerewet itu menyenangkan, aku mulai bertambah berisik! Dan saat kutanya, bagaimana sahabatku menanggapi makhluk aneh sepertiku? Jawabannya sangat menyentuh diary.

“Kamu memang berbeda dengan kamu yang dulu semasa SMU. Tapi, aku lebih suka kamu yang ini, Cinta. Kamu yang begini lebih lepas, lebih apa adanya. Meskipun terkadang aku suka senyam-senyum sendiri melihat cara bicaramu yang nggak bisa berhenti seperti rel kereta api. Aku suka kamu, sahabatku. Aku suka senyummu, senyum yang indah, senyum yang dari hati. Saat marah kamu akan marah, saat senang, kamu akan senang, aku bisa melihat semuanya dari tingkahmu yang ekspresif itu. Tak perlu kepura-puraan.”

Ah, diary…waktu itu aku nggak tahan memeluk sahabatku, aku berterimakasih dan bilang, tolong jangan sungkan-sungkan menasehatiku bila aku salah ya sayang.

Lalu, diary…kau tahu keajaiban apa yang terjadi lagi?

Mulut cerewetku membuatku memiliki banyak sahabat dan teman. Aku lambat laun tak merasa kesepian.

Aku benar-benar belajar tentang legenda garam. Ketika aku memandang sebuah kehilangan dengan pandangan sempit, maka aku hanya akan semakin sakit dan terpuruk. Namun ketika aku melihatnya lebih luas, melapangkan dadaku, maka seketika itu juga Allah akan mengganti sebuah kehilangan dengan pertemuan demi pertemuan.

Kini, Nunuk telah memiliki si kembar—Kakak Dian, adek Dika. Aku berdoa semoga mereka berdua bisa saling menyayangi seperti aku dan ibunya.

Oh iya, diary, aku lupa bilang satu hal…

Beberapa hari ini—tepatnya dua kali, aku mengalami fase “dejavu“. Kau tahu kan. Dejavu itu seperti pernah mengalami moment serupa di waktu yang berbeda. Anganku seperti melayang, masuk ke beberapa tahun silam. Aku yang berhujan-hujanan bareng Nunuk menjemput Jihan di rumah embahnya. Entahlah, aku merasa bahagia. Lalu, kemarin, kita berdua sempat jalan-jalan ke taman, untuk sekedar bersantai karena aku jenuh di rumah saja.

Sejenak kita menjadi remaja. Berhaha-hihi ria. Lalu malamnya, ketika suami adek tak ada di rumah, aku akan tidur di kamarnya bareng si kembar. Ah diary, aku sadar…sungguh tak ada yang berubah. Aku berharap kelak memiliki seorang suami yang juga menyayangi adekku sebagai adeknya sendiri. Sehebat dan setangguh apa pun Nunuk, ia tetaplah adek kecilku yang suka manja. Aku ingin kelak, suamiku bisa memakluminya.

Diary

Kurasa, aku akan menggunakan ilmu garam itu untuk jodohku kelak. Aku hanya harus berpikir lebih luas. Melapangkan dadaku. Aku yakin, Allah menyayangiku. Kelak, aku akan bahagia, bersama seseorang yang menganggap soulmate-ku—adek kecilku—adalah adeknya juga. Dan aku ingin ia juga bisa menjadi sahabatku, aku pun menjadi sahabatnya…lalu dengan bangga aku akan berkata, I know, we are gonna be best buddies forever!
xoxo

(a super excited) Cinta1668

21 respons untuk ‘My Diary “Belajar dari Garam”

  1. Cinta sungguh luar biasa. Ia bisa mengubah dan berubah. Terkadang haru saat membaca kisah ini, terkadang senyum penuh kebahagiaan. Sungguh… Cinta pasti bisa!

    Semangat Mba Cinta yaaaa.. Senang mengenalmu, meski di dunia maya dan kita belum pernah jumpa. 😀 *pelukeratttt

    Disukai oleh 1 orang

  2. I love this post I read your blog fairly often and you’re always coming out with some great stuff.
    I share this on my Facebook and my followers loved it. Keep up the good work.

    Suka

Tinggalkan komentar