Pekalonganku


Jam 4.15 am.

Aku sedang termangu di depan perempatan lampu merah Wiradesa, menunggu ibu datang menjemputku.

Suasana masih hening, dengan beberapa tukang ojek yang menawarkan untuk mengantarku pulang. Agak takut juga melihat mereka bolak-balik menawarkan jasa, ada sampai tiga kali satu orang menyapaku dan melakukan hal yang sama.

Mbak, daripada nunggu suwe, ayo ndang tak anter…pundi balikke mbak?” begitu katanya.

Mboten pak, maturnuwun, maaf… sampun dijemput, niki lagi nunggu jemputan” jawabku sekenanya.

Untunglah suara adzan yang menyusul di beberapa menit kemudian menenangkanku, sudah subuh, alhamdulillah… tak ada alasan lagi untuk takut.

Tak banyak perubahan…jalan-jalan dan rumah-rumah di sekitar masih sama persis seperti 2 bulan lalu ketika aku memutuskan untuk pulang. Persawahan yang masih rimbun dan asri, sejuk sekali ternyata bila dinikmati di jam sepagi ini.

Pekalongan, sederhana sekali kota Batikku ini, namun entah mengapa kesederhanaannya selalu punya posisi tersendiri di hati. Ada sebuah rasa yang takkan mungkin terganti. Aku yakin, mereka yang tinggal jauh dari kota kelahiran akan juga merasakan hal yang sama sepertiku.

Rindu…sebuah kerinduan untuk kembali pulang.

Ah, aku jadi lupa bercerita… tadi, sepanjang perjalanan pulang, ada seorang bapak-bapak terpaut usia 10 tahun di atasku. Beliau baik sekali, tahu karena aku masih juga menggendong tanganku, dari proses beli tiket sampai membawa tas rangselku, beliau yang lakukan semua. Namun, sebagai kompensasinya…aku menemani beliau ini mengobrol. Mengobrol apa saja dari A sampai Z…dari backpacker sampai pekerjaan sampai seputar kuliah, tak ketinggalan cita-cita, beliau terlihat begitu bahagia ketika menceritakan keluarganya : istri dan anak-anaknya.

Tak terasa, dalam hatiku berdoa :

Tuhanku, semoga kelak, aku mendapati cahaya bahagia itu di wajah suamiku ketika bercerita tentang diriku yang sederhana ini, semoga aku yang tak sempurna ini kelak bisa menutupinya dari pandangan mata syeitan yang akan menghancurkan cinta dan kesetiaan yang kami ikrarkan di hari pernikahan kami itu. Aamiin.

Ah bapak yang baik, sayang sekali tadi Cinta tertidur waktu bapak turun dan tidak sempat berpamitan. Meski sebelumnya sudah berterimakasih, ingin rasanya mengucapkan terimakasih sekali lagi.

Sekarang sudah jam 05.00 am. Suara si jago sudah bersautan di luar sana. Dan aku yang bodoh ini malah memutuskan untuk ber-selfie.

Ini selfie pertamaku di 2017.

Ya, aku sudah jarang ber-selfie ria sekarang…seseorang yang dulu bilang “cantik” atau “saya suka” sudah menjauh…tak lagi berkomentar…dan lagi-lagi, aku harus mengerti. Mengerti. Mengerti. Mengerti.  Dan mengerti. Mengerti yang sudah menjadi harga mati.

Rindukah aku?

Bohong sekali jika kubilang tidak. Namun tak perlu kuperpanjang karena seperti yang kau bilang, itu hanya sebuah kisah lalu. Biar kusimpan di hati saja. Aku sudah memutuskan, akan mengabadikanmu dalam ceritaku. Cerita yang kumodif dan kubumbui kisah lain tentu. Aku minta maaf, bukan maksudku menyeretmu ke duniaku, hanya saja…cuma ini yang kubisa, mengabadikan sedikit sifat atau karakter atau pun model percakapan tentang pembicaraan kita. Karena kelak, aku ingin saat membaca ulang ceritaku sendiri, ada kamu yang hidup di dalamnya. Sesederhana itu saja. Semoga engkau tidak akan marah karenanya, ya?!

Dan…sekarang sudah jam 05.18 am.

Sudah waktunya kututup cerita ini.

Selamat datang Pekalonganku.

Dan untukmu…selamat tinggal masa lalu.

Picture by Google

24 respons untuk ‘Pekalonganku

Tinggalkan komentar