Di Pinggir Selokan


Pict by Google

Jika batu dalam genggaman tangan saya lepas, berarti sudah saatnya ia lepas. Jika perjalanan ini belum usai, maka kaki ini meski lelah dan penat, akan kembali terus melangkah. Jika saya tergelincir nanti, maka sesuatu akan menyeruak muncul dari kekosongan, meraih tangan saya yang hampa dan kembali membawa saya bangkit berdiri. Saya tak ingin memberinya nama. Saya tak ingin menjeratnya dalam sebuah identitas. Yang saya tahu, saya bersisian dengannya. Seperti partikel dan gelombang. Seperti alam material dan imaterial. Sedikit batu atau banyak batu, melangkah cepat atau lambat, tergelincir atau terjerembap, ia berjalan seiring nafas dan denyut saya. Ia membutuhkan saya sama halnya dengan saya membutuhkannya. Dan hanya dalam keheningan, kami berdua hilang. Dalam keheningan, kami bersatu dalam ketiadaan. Mendadak, adanya revolusi atau tidak, bukan lagi satu hal yang signifikan. Mendadak, hari ini menjadi hari yang sama berharganya sekaligus sama biasanya dengan hari-hari lain.

Sepenggal cerpen Dewi “Dee” Lestari ~ 2008 Di Pinggir Selokan.

34 respons untuk ‘Di Pinggir Selokan

Tinggalkan komentar