Hujan ( Last Episode )


rabu-april-07-2010-55f9a45ddd22bd2a1826250e
Pic by Google

 

Bagi yang ingin membaca episode sebelumnya, link-nya ada di bawah ini :

Hujan ( Part 1 )

Hujan ( Part 2 )

Hujan ( Part 3 )

Hujan ( Part 4 )

Hujan ( part 5 )

 

Hari ini,

15 september 1988,

Hari yang mendung… Apa karena aku sangat menyukai hujan? Sampai-sampai di hari pernikahanku pun akan turun hujan.

Ya Robb, Engkau tahu, hampir dua tahun aku mengenalnya, dan selama itu aku menemukan banyak perubahan pada dirinya, ia yang dulu kasar, ia yang dulu trauma, ia yang dulu saaaangat kekanakan, sekarang jadi penuh kasih dan sabar, traumanya juga sudah jarang terjadi, aku kini malah sering mengajaknya ke rumah tua di dekat villa itu, tapi ia malah berkata,

“kau adalah hujan di hatiku, hujan yang menghapus semua kenangan sedihku, kini yang ada hanya memory tentangmu” sambil tersenyum, so sweet!

Sekarang aku malah yang sering kekanakan, up’s tapi tak seperti dulu lagi ketika ia tak mau kalah, kini ia sering mengalah, apa ya kata yang tepat untuk mengungkapkannya?

 CINTA BUKAN SEGALANYA, KARENA AKU MENEMUKAN KELEMBUTAN DARI KASIH. KASIH SAYANG YANG SELAMA INI KURASAKAN PADANYA.

CINTA BUKAN SEGALANYA, KARENA MESKI AKU BELUM MENCINTAINYA… RASANYA AKU SANGAT BAHAGIA.

 Dan ada satu hal lagi yang melengkapi kebahagiaan ini, karena ayah Ridwan sudah kembali. Ya, beliau kembali hidup bersama Ridwan, ternyata selama ini beliau merasa bersalah karena perbuatan istri beliau dulu, akhirnya aku bisa memecahkan kebekuan di antara mereka, Alhamdulillahirobbil’alamiin akhirnya mereka bersatu. Senang rasanya punya peran dalam perubahan ini, semoga selamanya aku akan jadi hujan di hati Ridwan, aamiin.

“Mutia, sudah siap belum?”

Suara baritone itu mengejutkan Mutia.

“Eh, iya kak, insya Allah.”

“Hhhhhhh…”

“Kenapa menghela nafas begitu kak? Harusnya kak Radith bahagia dong, karena adik kak Radith yang paling cantik ini akan menikah.”

“Entahlah, kurasa kak Radith belum siap menjadi pendamping pengantin untukmu, Mutia cari orang lain saja ya?”

“Katanya kemarin bisa, koq sekarang jadi berubah lagi, gimana sih? Kak Radith plin-plan nih,” Mutia kecewa.

“Apakah di hati kecilmu itu tak pernah terbersit cinta untukku Mutia? Tolong jawab pertanyaanku! Kenapa aku masih merasa kau hanya mencintaiku?”

Suasana tiba-tiba menjadi serius.

Mutia menatap Radith dalam-dalam lalu memeluknya.

Apakah kata itu penting kak Radith? Jika satu kata itu hanya akan merusak segalanya kenapa harus kukatakan? Biarlah hanya Dia saja yang tahu tentang rasaku. Aku lebih suka memendamnya. Aku tidak akan menyalahkan Dia atas semua ini. Aku yakin, pasti ada hikmah di balik ini. Ya Robb, tolong buat lelaki yang paling kucintai ini bahagia. Bahagiakan dia meski tanpaku, aamiin.

 “Kenapa diam Mutia?”

“Dunia ini begitu luas kak, begitu juga dengan kaum Hawa-nya, kak Radith pasti bisa mendapatkan yang lebih baik dariku.”

Mutia melepaskan pelukannya.

“Jadi aku benar-benar akan kehilanganmu?”

“Mutia akan selalu di sini, dalam hati kak Radith tapi hanya sebagai adik,” kata Mutia sembari menepuk dada Radith. “Mutia sedih jika kak Radith sedih, Mutia bahagia jika kak Radith bahagia, bukan maksud Mutia membuat kak Radith sedih, hanya saja Mutia berfikir, ini adalah bentuk keikhlasan kak Radith untuk melepaskan Mutia.”

“Hufffttt, ya sudahlah, asal Mutia bahagia kak Radith juga bahagia, kak Radith janji akan menemukan wanita yang lebih baik dari kamu dek, saat itu kakak yakin, Mutia pasti akan menyesal hehehe.”

“Nah gitu dong kak, harus tetap semangat ya kakakku yang baik hati.”

“Bismillah, aku sudah siap mengantarkanmu pada Ridwan,” kata Radith penuh semangat.

**********************

Hari-hari setelah itu sarat dengan warna yang kontras. Kehidupan Ridwan dan Mutia penuh dengan rona bahagia, Radith benar-benar telah menghapus trauma Ridwan melalui adik perempuannya. Tapi sayangnya, tak ada satu pun cinta yang bersemi di hatinya selain Mutia.

Satu minggu,

Satu bulan,

Satu tahun,

Tak juga membuat bayangan indah Mutia sirna dari benaknya.

Apa ini yang disebut cinta sejati? Cinta yang mengakar begitu kuat di urat nadi, bahkan mendarah-daging. Cinta yang tak jua sirna meski tak ada lagi ruang untuk menyatukannya. Pernah sesekali Mutia bertanya pada Ridwan,

“Mana perempuan cantik itu kak? Perempuan yang kata kak Radith akan membuatku iri dan menyesal? Kenalkan aku padanya kak, aku sungguh ingin bertemu dengannya!”

Jawaban Radith sangat simple,

“Belum ada yang seindahmu adikku.”

Radith terus saja menyimpan perasaan cinta itu bahkan hingga kini saat Mutia tengah mengandung, Radith belum juga mampu menghapus rasa itu.

Lagi, Mutia mendatanginya lagi dan berkata,

“Mana perempuan itu? Apakah ia sudah datang? Kenalkan aku padanya kak Radith.”

Namun jawaban Radith tetap sama,

“Belum ada yang seindahmu adikku”

Kali ini Mutia berusaha lebih keras,

“Jangan membuatku merasa bersalah seperti ini kak, lihatlah aku sekarang, sebentar lagi aku akan punya malaikat kecil, aku ingin kak Radith juga merasakan kebahagiaan ini.”

“Kalau begitu, malaikat kecilmu saja nanti yang menikah denganku, mungkin ia akan lebih indah darimu, sampai saat itu tiba, aku janji akan menikah.”

“Astaghfirullahal’adhiim kak Radith, kenapa bicara seperti itu? Itu tidak lucu! Sama sekali tidak lucu!”

“Kamu tidak akan pernah mengerti perasaanku Mutia. Pulang sana, sudah sore, nanti Ridwan cemas, lain kali kalau ke sini, jangan tanya itu lagi ya dek, assalamu’alaikum.”

Radith meninggalkan Mutia begitu saja.

Tak hanya sampai di situ, Mutia juga sering membawa teman perempuan suaminya untuk berkunjung ke rumah Ridwan, tapi hasilnya nihil.

 

 

********************************

 

Apa arti hujan menurut kalian? (para pembaca). Mungkin pendapat dari masing-masing kalian akan berbeda tapi ada satu argument yang pasti sama, cepat atau lambat, hujan pasti berlalu. Hujan ada untuk memberikan kesejukan, tapi kesejukan itu hanya akan datang ketika hujan berlalu. Lalu bagaimana dengan Mutia? Apa ia juga akan berlalu seperti hujan?

Seperti bunga mawar putih di teras depan rumahku, tak lama ia akan menggugurkan kelopaknya yang indah satu demi satu, hingga hanya tersisa duri, kenapa setiap melihat bunga itu, aku merasakan kepedihan hati kak Radith?

Tuhan, kenapa menjadi hujan itu sangat sulit? Pada saat aku ingin membahagiakan seseorang, kenapa aku justru menyakiti orang yang paling berarti dalam hidupku? Apa yang harus kulakukan? Melihatnya terluka seperti ini membuatku lebih terluka lagi!

Dilema ini, sampai kapan harus berakhir? Tuhan, tolong bahagiakan kak Radith-ku

Senandung-senandung doa indah itu hampir tiap hari terucap dari bibir Mutia. Apakah suatu hari dilemma ini akan berakhir, atau malah menjadi duri di hati Mutia dan Radith?

22 Juli 1989,

Temaram masih menyelimuti Jakarta.

Aneh, bulan Juli adalah bulan yang selalu terik, puncak dari musim kemarau. Tapi seharian ini, mendung tak juga sirna. Rasanya langit sedang mencemaskan sesuatu, atau mungkin ia ingin menyambut seseorang, seseorang yang sangat berarti baginya?

Entahlah, tapi sepertinya kecemasan itu juga tampak di wajah Ridwan yang sedang menantikan kelahiran anaknya yang pertama.

“Kenapa langitnya mendung sekali? Tuhan, Engkau tidak akan mengambil Mutia-ku kan? Tolong jangan ambil ia dariku, aku belum sanggup kehilangannya”

Ridwan terngiang kata-kata Mutia sehari sebelumnya,

“Sayang, aku punya 1 pertanyaan, maukah kamu menjawabnya?”

“Apa itu?”

“Kalau nanti pada saat melahirkan terjadi sesuatu padaku, kamu tidak akan membenci bayi kita kan? Ingatlah, ia adalah makhluk indah yang tidak berdosa, ia tidak tahu apa-apa, ia juga tidak bersalah apa-apa.”

“Kenapa bicara seperti itu sayang? Tidak akan terjadi apapun padamu dan bayi kita, percayalah Tuhan bersama kita!”

“Ya, kau benar sayang, selama ini Tuhan telah membuat segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, kenapa aku harus takut, kali ini semua pasti juga akan baik-baik saja, iya kan? Bertemu denganmu adalah hal yang paling membahagiakanku, terimakasih telah membuat hidupku begitu bahagia suamiku, dan maaf jika aku belum bisa membalasnya.”

“Sama-sama sayang, bertemu denganmu juga adalah hal yang paling membahagiakanku, aku mencintaimu selamanya karena kamu adalah hujan di hatiku. Hujan yang selalu menyejukkan.”

Astaghfirullahal’adhiim, kenapa aku baru sadar? Itu seperti kalimat perpisahan. Ah, sudahlah! Ini pasti hanya perasaanku saja, pasti semua akan baik-baik saja. Ya, semua pasti akan baik-baik saja.

“Tenanglah Ridwan, Mutia pasti akan baik-baik saja,”  Radith yang dari tadi memperhatikan kecemasan Ridwan mencoba menenangkannya.”

Setengah jam berlalu. Suara pintu berderit, diiringi dengan langkah seorang dokter perempuan mendekati Ridwan dan Radith yang menandakan bahwa operasi sudah selesai. Tak semulus dugaan bahwa semua akan baik-baik saja, operasi memang berjalan lancar, bayi perempuan mungil dan lucu juga telah lahir ke dunia, tapi tidak dengan Mutia, kondisinya justru kritis, ternyata selama ini Mutia menyembunyikan semuanya, semua kesakitannya.

“Apa? Kenapa istriku bisa kritis? Bagaimana bisa itu terjadi dokter?” Ridwan berkata dengan nada tinggi.

“Sebaiknya pak Ridwan ikut ke ruangan saya, saya akan menjelaskannya di sana.”

Di sana, di ruangan yang tak begitu luas itu semuanya terungkap.

Tentang kesakitan Mutia, tentang derita yang selama ini ia sembunyikan tanpa ada satupun orang yang tahu. Ya, ternyata selama ini Mutia mengidap kanker serviks stadium akhir. Dokter sudah angkat tangan karena tak bisa berbuat apa-apa.

“Terimakasih dokter atas penjelasannya, saya ingin menemui istri saya mungkin untuk yang terakhir kalinya.”

Langkah demi langkah semakin lemas, rasanya ingin roboh dan menjatuhkan diri ke tanah atas semua takdir ini. Ridwan menemui Radith, sesuai janjinya untuk menjelaskan semuanya setelah dari ruang dokter.

“Ternyata mendung ini untuk Mutia teman, ini adalah sambutan langit untuk Mutia-ku, Tuhan tolong jangan ambil ia, aku sangat mencintainya, Engkau yang paling tahu itu…” tangis Ridwan tiba-tiba pecah di luar ruangan itu, memperhatikan kondisi istrinya lewat sebuah kaca tembus pandang di depan ruang ICU.”

“Tenanglah Ridwan… kamu harus sabar, Mutia itu sangat kuat, ia tidak akan pergi secepat ini. Aku tidak akan membiarkannya,” Radith juga tak kalah sedihnya, semua cinta yang dulu coba ia tekan, sekarang benar-benar membuncah melihat kondisi Mutia yang sangat memprihatinkan.

Untuk sejenak suasana menjadi hening. Mungkin keheningan malam telah merenggut suara-suara kokoh itu. Malam yang biasanya penuh dengan cahaya bintang, hari ini semakin temaram. Temaramnya sampai pada hati dua lelaki itu, seperti jilatan lidah api yang siap membakarnya hingga menjadi abu.

Satu persatu kenangan tentang Mutia muncul… menyeruak di hati mereka masing-masing. Indah! Wanita itu begitu indah di hati mereka, begitu riang dengan kehangatannya, begitu sejuk seperti hujan yang membasahi hati semua orang.

Jika hari ini hujan itu pergi, apa yang akan terjadi nanti?

Lamunan mereka terbangun oleh suara seorang suster, Mutia sudah kembali sadar.

“Alhamdulillah…” kata mereka hampir bersamaan.

Radith dan Ridwan memasuki ruang ICU bersama-sama.

“Mutia, bagaimana rasanya? Apa yang sakit sayang? Katakan padaku, jangan berbohong lagi.”

“Uhuks… uhuks, sakit semuanya dan sekarang bertambah sakit, aku hampir tidak bisa menahannya lagi,” nada suara Mutia sangat parau. Wajahnya pucat pasi seperti tidak ada aura kehidupan lagi.

“Apa yang harus kulakukan untuk menghilangkan sakitmu sayang? Katakanlah!” pinta Ridwan.

“Relakan aku, biarkan aku pergi sekarang, mungkin di sana, aku tidak akan kesakitan lagi, sepertinya di sana sangat nyaman.”

“Di mana? Apa yang nyaman? Kamu tidak boleh pergi. Kamu harus tetap di sini bersamaku,” kali ini nada bicara Ridwan menjadi tinggi.

“Ridwan, jangan begitu… kalau memang Mutia harus pergi sekarang, relakan ia, biarkan ia pergi dengan tenang,” bujuk Radith.

“Aku tadi bermimpi, aku menemukan sebuah cahaya, di sana sangat nyaman, cahaya itu berasal dari sebuah istana yang sangat besar. Tiba-tiba rasa sakitku hilang. Tapi… aku tidak bisa pergi karena melihat kalian berdua menangis, entah kenapa kakiku jadi tidak bisa melangkah. Kak Radith, tolong aku, aku ingin ke sana lagi. Aku kesakitan di sini, aku tidak bisa menahannya lagi, tolong aku kak.”

“Iya adekku sayang, kak Radith ikhlas, asal kamu bahagia kak Radith juga bahagia, pergilah dengan tenang Mutia.”

“Suamiku… tolong aku, bolehkah aku pergi ke tempat itu?”

“Hhhhh, kamu harus menungguku Mutia. Aku tidak bisa hidup tanpamu… tidak bisa!”

“Ridwan, kumohon, relakan Mutia pergi. Apa kamu tega melihatnya kesakitan seperti itu?”

Untuk sesaat Ridwan terdiam, memperhatikan raut wajah istrinya yang kesakitan, nafasnya yang mulai terengah-engah, wajahnya yang memucat dan tangannya yang begitu dingin.

“Hhhhh, astaghfirullahal’adhiim, baiklah aku ikhlas sayang, pergilah dengan tenang. Aku janji akan merawat bayi kita dengan baik, ia tidak akan kekurangan kasih-sayang, aku akan menjadi ayah dan ibu untuknya, pergilah sayang.”

“Laa ilaaha illallah Muhammadarrasulullah.”

Kalimat itu meluncur tenang dari mulut Mutia. Sorot mata yang semula terang, kini semakin meredup, semakin lama cahayanya semakin memudar, dan kini kedua matanya telah menutup diiringi hembusan terakhir nafasnya.

Ya, hujan itu kini benar-benar pergi. Pergi dengan membawa kesejukan, dengan sebuah senyuman yang indah di wajahnya yang ayu.

Teruntuk suamiku,

Maaf, bukan maksudku menyembunyikan semuanya, sungguh aku tidak bermaksud begitu, aku hanya tidak ingin membuatmu cemas.

 Tepat setahun setelah menikah, entah kenapa rahimku sering sakit, jadi aku mencoba memeriksakannya. Dan betapa terkejutnya aku, aku divonis kanker servick. Itu penyakit yang menakutkan! Tapi untunglah setelah konsultasi dengan beberapa dokter, ada harapan sembuh, Alhamdulillah.

 Hari itu, aku ingin sekali mengatakan sejujurnya padamu, aku ingin engkau juga menemaniku dalam hari beratku nanti. Ya, aku benar-benar tak ingin sendirian lagi menghadapinya, aku sungguh memerlukanmu.

Tapi Allah berkehendak lain, hari itu juga, aku tahu, ada benih yang baru tumbuh di rahimku.

 Aku harus bagaimana? Apa aku harus merenggutnya untuk kesembuhanku? Merenggut umurnya yang baru 1 minggu? Apa aku sekejam itu? Apa aku bisa?

Tidak! Demi nama-Nya yang Agung, aku sungguh tidak bisa. Aku sudah hidup lebih lama di dunia, menghirup udara ini sangat menyenangkan, apa aku tega merenggut semua ini dari janinku?

 Apa aku salah jika mempertahankannya? Aku  yakin, aku tidak salah. Jadi aku urungkan niatku untuk berobat, aku mau bayiku kuat tanpa obat-obatan itu. Dan aku juga yakin, kalau tim medis tidak bisa menyembuhkanku, masih ada keajaiban dari Yang Maha Menciptakan.

Dan benar, sampai hari ini aku hidup untuk menulis semua kisah ini.

 Suamiku…

Kadang aku sangat kesakitan, tapi saat aku membayangkan bayiku, aku jadi semakin kuat. Sungguh bukan salahnya, ini kemauanku. Kamu tidak boleh membencinya, kamu harus menyayanginya, karena mungkin aku tidak akan bisa melihatnya lagi.

 Suamiku…

Jika aku benar-benar pergi, aku mohon maafkan aku karena telah memutuskannya sendiri. Terimakasih, karena telah membuatku menjadi istri yang paling bahagia di dunia.

Istrimu,

Mutia.

 

 

Sepucuk surat itu telah menjelaskan semuanya. Sepucuk surat yang Mutia selipkan di balik bantal tidurnya. Ridwan membacanya berulang-ulang dengan mata yang masih penuh gerimis, ia sangat berharap dengan membacanya berulang-ulang, ia bisa menghilangkan kesedihan di hatinya yang masih menggunung.

****************************************

23 Juli 1989,

Pagi hari yang terik, cuaca sudah kembali normal, panasnya cukup untuk membuat kita berkeringat jika berlama-lama di bawah sengatannya. Panas yang membakar kulit, panas itu juga yang mencoba membakar hati Radith, tak ada seorang pun yang tahu apa yang dirasakan Radith saat itu, kehilangan adik juga seorang wanita yang sangat dicintainya.

Cinta sejati itu kini telah pergi dengan meninggalkan sebuah pertanyaan,

kenapa Mutia menyembunyikan semua ini dariku? Ia pergi tanpa pesan. Rasanya aku ingin menghilang karena keacuhannya!

Cukup lama upacara pemakaman itu berlangsung.

Dan kini, 30 menit sudah berlalu.

“Den Radith, maaf ini saya punya titipan untuk anda” suara pak Budi, supir di rumah Mutia mengagetkannya.

“Sebuah surat? Astaghfirullahal’adhiim, aku salah duga, aku kira Mutia melupakanku, terimakasih pak Budi”

Teruntuk kak Radith,

 Kak, aku sakit.

 Aku sering memandangi bunga mawar di teras depan rumahku, dan setiap kali aku melihat durinya, aku ingat kak Radith yang sedih karena mencintaiku.

Kak, aku sayang kak Radith. Sayang yang tidak pernah bisa terungkapkan dengan apapun.

 Jika Ridwan suamiku menganggapku sebagai hujan, maka kak Radith adalah senja bagiku. Setiap senja yang kita lalui bersama-sama, adalah saat yang tidak pernah terlupakan.

 Sejak kecil, lewat sebuah senja,

kak Radith menasehatiku, bagaimana bersikap, bagaimana berbuat baik, bagaimana memberi tanpa pamrih dan masih banyak hal lain yang tidak mungkin bisa kusebutkan satu demi satu. Semua itu, adalah sebuah shymphony yang mengalun indah di hatiku, shymphony yang tak akan terlupakan. Memilikimu adalah hal terindah di dunia, aku sangat bersyukur karenanya.

Kak Radith adalah ayah, kakak, sahabat, bahkan kekasih. Ya, aku selalu ingin menjadi kekasih di hatimu kak Radith. Kekasih yang selalu bertahta di lubuk sana. Egois ya kak? Maaf, kadang aku memang begitu. Mungkin karena rasa ini juga kak Radith belum bisa melupakanku.

 Kak…

Terkadang cinta itu tak perlu harus memiliki, tapi aku tak menyesal. Karenanya, dari tak memiliki aku jadi memiliki semuanya. Aku memiliki hati kak Radith dan kebahagiaanku bersama Ridwan.

Tapi hari ini, aku memutuskan untuk melupakanmu kak. Aku ingin, jika aku pergi kelak, kak Radith juga bisa melupakanku. Aku ikhlas, sungguh aku tidak akan egois lagi, aku ingin kak Radith menikah… menikahlah untukku kak. Bayangkan aku hadir di pernikahan kakak nanti dengan senyum meski aku sudah tiada.

Terimakasih karena telah hadir dan memberi warna indah dalam kehidupanku.

 Adikmu,

 Mutia.

“Ternyata Mutia mencintaiku… ah, ternyata itu yang membuatku tak bisa melupakanmu dek, karena kita saling mencinta.”

“Kamu benar Radith, Mutia memang mencintaimu, aku sudah lama tahu, hatiku bisa merasakannya, tapi aku tak bisa melepaskannya, karena aku juga sangat mencintainya. Semoga kelak kamu bisa memaafkanku karena telah merebut Mutia darimu.”

“Sejak kapan kamu di situ?” tanya Radith masih dengan kekagetannya.

“Cukup lama memperhatikanmu sejak tadi, sekali lagi aku minta maaf sahabatku,” Ridwan mengulang perkataannya.

“Sudahlah Ridwan, aku sudah memaafkanmu sejak dulu, sebaiknya kita kenang Mutia sebagai hujan saja, seperti sebutanmu untuknya, dan sesekali ketika kita rindu padanya, kita harus sering bertemu untuk mengingat semua keindahan hujan itu, bagaimana?”

Of course, I do!” jawab Ridwan dengan senyum.

Dua sahabat itu berlalu meninggalkan pemakaman.

*********************************

Astaga, aku terlalu banyak melamun sampai lupa kalau aku sudah telat meeting dari 5 menit yang lalu.

 Sebuah lamunan yang panjang dari seorang yang mulai menua.

Ridwan, tetap setia pada Mutia sampai pada usianya 50 tahun kini setelah 26 tahun pernikahannya.

“Mutia, ada satu hal yang harus kukatakan padamu, minggu depan, putri kita menikah. Kamu tahu dengan siapa ia menikah? Dengan Radith. Kamu tidak marah kan sayang? Kamu selalu ingin Radith menikah, aku juga begitu. Melati, putri kita sangat mirip denganmu, mungkin karena itu mereka saling mencintai. Aku tahu usia mereka terpaut hampir 25 tahun, tapi aku tak bisa memisahkan mereka. Aku selalu merasa merebutmu dari Radith, kali ini aku benar-benar tak bisa merenggut kebahagiannya lagi. Hujanku, aku meeting dulu sebentar, nanti kita lanjutkan lagi setelah meeting.”

Lelaki setengah baya itu pergi meninggalkan ruang kerjanya.

Kisah cinta tak selamanya sempurna seperti yang diinginkan, tapi yakinlah… Takdir-Nya pasti lebih indah. Kadang juga melampaui batas pemikiran kita, manusia. Semoga cerbung “ Hujan “ ini bisa bermanfaat buat kalian semua yang membacanya aamiiiiiin. Salam sastra ^__^v

 

 

8 respons untuk ‘Hujan ( Last Episode )

Tinggalkan komentar