H minus 6


mendengarkan-headseatPic by Google

Ada saat untuk cinta,

Ada saat untuk cita,

Ada saat untuk asa,

Satu demi satu bermunculan ke permukaan, membiaskan sejuta mimpi dan harapan,

Menawarkan bahkan membius dengan rona-rona wajahnya yang rupawan.

Lama harus menyadarinya...

Tapi hari ini,

Ketika mentari lebih bersinar dari biasanya,

Ketika suara burung lebih nyaring dan merdu,

Ketika langit membentuk kawanan domba-domba putih lengkap dengan penggembalanya,

Ketika hujan rintik tiba-tiba muncul dengan sedikit sengatan mentari. Ya, ini pelangiku! Pelangi yang Tuhan ciptakan khusus untukku, untuk menjemputku.

H minus 6

“ Aku mencintaimu Melati, aku tidak tahu sejak kapan, tapi yang pasti aku ingin menjadi seseorang yang selalu ada di sampingmu, menemanimu setiap hari sepulang sekolah, kita bisa pergi kemana pun yang kau mau sayang. Akan kutunjukkan padamu puncak Monas dengan aku di sebelahnya, aku tidak kalah bersinar dengan emas berton-ton itu, akan kupenuhi hari-harimu dengan senyumku, aku tahu, tanpa kau bicara kalau kau sangat menyukai mata dan senyumku, iya kan? Maukah kau menjadi pacarku?”

Kata-kata yang mengalir begitu derasnya, seperti ratusan peluru yang berhasil membidik tepat dan berkali-kali ke jaringan berwarna merah tua yang tak berhenti berdenyut ini. Aku terbius oleh kata-katanya. Pemuda dengan mata dan senyum paling menawan ini sedang menyatakan cintanya.

Oh Tuhan, mimpikah aku? Jika ini mimpi, tolong biarkan aku bertahan lebih lama di mimpi ini. Rasanya… aku ingin sekali me… me… me…

“Ggggggrrrrrrrbbbbbbbb” bunyi seragam abu-abu putih kami yang bergesekan terasa begitu kencang. Ya, aku memeluknya, cukup lama. Lima belas menit tanpa kata itu aku merasakan degupan jantungnya yang juga sama kencangnya denganku.

Hangat sekali ternyata berada di pelukan orang yang kita cinta, kuharap waktu ini berhenti. Aku ingin lebih lama seperti ini. Indahnyaaaaa…

“Melati sayang, kenapa kau diam saja? Apa aku bisa mengartikan pelukan ini dengan kata “iya”?”

Aku mengangguk pelan, malu sekali waktu itu sampai kedua pipiku ini merah merona seperti habis dipukuli. Aku membuncah kesenangan, rasanya hujanku turun lagi, hujan di hatiku yang akan segera melahirkan pelangi.

Hari-hari setelah itu, pasti kalian para pembaca sudah bisa menebaknya. Ya, karena ini adalah cinta semasa SMU, cinta monyet, cinta sesaat, cinta labil, namun cinta ini mengajarkanku banyak hal, cinta ini adalah sebuah pembelajaran.

Kegiatan belajarku sudah mulai berkurang. Up’s, maaf sebelumnya, aku lupa menceritakan kalau aku ini bintang kelas di sekolahku, peringkat terbaik dari sejak aku masuk sampai sekarang tak pernah terlewatkan olehku. Banyak les privat, belajar, aktif di perlombaan sekolah meski semua harus dengan pengawasan ketat mamaku. Di kamarku yang mungil ini ada satu lemari penuh berisi piala-piala dan piagam-piagam penghargaan. Juara 1 Olimpiade Matematika tingkat Nasional, juara Puisi Terbaik tingkat SMU se-provinsi, juara 1 Cerdas-Cermat Kelompok dan Perorangan, juara 1 Pidato Bahasa Inggris Se-Jabotabek, juara 1 Gitaris Festival Musik Nasional, dan masih banyak lagi. Mungkin kalian akan kaget bila kusebutkan satu-persatu prestasiku yang lain. Tapi inilah aku, anak kebanggaan mama, aku melihat wajah mama yang selalu berbinar ketika melihatku, aku yakin mama sangat bangga padaku. Tapi kenapa aku merasa biasa-biasa saja? Aku tiba-tiba merasa hambar dan jenuh. Kupandangi satu demi satu piala-piala dan piagam-piagam penghargaan itu dan aku benar-benar jenuh.

Tuhan, aku jenuh, aku ingin juga seperti mereka yang bisa ber”haha-hihi” sepulang sekolah, berkumpul dengan teman sambil memakan bakso, hujan-hujanan sambil berkotor-kotoran dengan cipratan air, naik banana boat di Anyer sambil berteriak-teriak. Ya, aku mau seperti mereka tapi kenapa tidak boleh? Kenapa tidak bisa?

 

H minus 5

“Sayang, kamu ini anak mama satu-satunya, mama sangat menyayangimu, mama tidak minta apapun, hanya saja minumlah obat ini, bayangkan wajah mama setiap kali meminumnya, ada wajah mama yang tersenyum di sana.”

Mama, aku sayang mama. Aku juga ingin menemani mama selamanya, tapi… aku tak kuasa atas umurku ini ma, andai saja ada satu hal yang bisa kupinta dari-Nya, dan andai hanya satu permintaan ini yang dikabulkan, aku rela tak meminta apapun lagi. Aku hanya ingin bersama mama, hidup lebih lama bersama mama. Tapi aku tak kuasa, sungguh tak kuasa ma, maaf… benar-benar maaf.

 

H minus 4

“Kenapa melamun?”

“Enggak kok, aku hanya merasa bahagia. Baru kali ini aku bisa melihat langit sore, menyentuh pasir dengan bertelanjang kaki, terimakasih.”

“Memang mamamu tidak pernah mengajakmu ke tempat ini? Ke pantai ini? Bukannya ini dekat sekali dengan rumahmu?”

Aku menggeleng pelan.

“Kenapa?”

“Karena sayang, karena mama terlalu sayang padaku.”

“Kalau begitu, besok kita ke Monas ya, aku mau mengajakmu ke sana, mau ya? Aku mau tunjukkan walaupun berdampingan dengan emas berton-ton itu, senyumku tetap paling indah!”

Tuhan, hujan di hatiku turun lagi. Aku bahagia, bahagia sekali. Lima tahun lamanya hanya berdiam di dalam rumah dan sekarang aku bisa kemana saja. Jika setelah ini Engkau menjemputku, aku takkan menyesal.

 

H minus 3

“Apa kau kedinginan sayang? Kenapa wajahmu begitu biru dan bibirmu menggigil?” Dengan cepat Sandy melepas jacket-nya dan memakaikannya padaku.

Aku hanya tersenyum saja dan berbisik padanya…” ini hari terindah, aku merasakan hujan pertamaku setelah lima tahun, terimakasih.”

“Apa maksudmu sayang?”

Kali ini aku diam tanpa kata, hanya menatapnya dalam dan semakin dalam.

Bersama putih abu-abu, aku kini tak hanya meraih cita, tapi cinta juga. Terimakasih Tuhan memberi kesan di hidupku yang mungkin takkan lama ini.

Kami pulang sore itu, dengan omelan dari mama.

Si tampan-ku dimarahi lagi, tapi dia hanya tersenyum dan bilang, “maaf tante Litha, Sandy hanya ingin anak tante Litha bahagia.”

“Tapi bukan begini caranya, Melati itu berbeda dengan gadis lainnya, dia itu…”

“Mama, kumohon…” aku mencoba memutus pembicaraan mama.

“Hhhhh, ya sudah tidak apa-apa, Melati itu berbeda karena dia anak satu-satunya tante.”

“Iya tante, Sandy mengerti, sekali lagi maaf tante.”

Begitulah hari-hari yang harus Sandy lalui, dengan sedikit ceramah dan omelan dari mama. Namun dia begitu setia, setia dan teguh pendirian. Dia selalu bilang padaku, cinta itu butuh pengorbanan.

Sandy pergi, kini tinggal aku dan mama.

“Kamu sakit nak? Kamu tidak terkena benda-benda tajam kan? Sini mama cek dulu, buka semua bajumu dulu.”

“Tidak ma, aku tidak apa-apa, aku tidak sakit, aku tidak terluka, kumohon ma, jangan perlakukan aku seperti ini, aku sudah besar.”

“Tidak, cepat lepas bajumu, biar mama cek dulu,” mama berusaha melepas bajuku.

“Mama, hentikan, jangan begini ma, kumohon, mama ingat kata-kata dokter kan? Hanya keajaiban yang bisa menyembuhkanku, tidak ada harapan lagi, aku ingin bahagia ma, sebelum aku meninggalkan dunia ini tolong biarkan aku bahagia. Piala dan piagam-piagam satu lemari itu buat mama semuanya. Aku sudah memenuhi janjiku pada diriku-sendiri, menjadi bintang kelas, menjadi anak kebanggaan mama. Tapi kumohon, di akhir hidupku ini, biarkan aku merasakan hujan, biarkan aku melihat langit, merasakan angin, bermain-main pasir dan berteriak-teriak di sana, aku jenuh ma, sangat jenuh.”

Tanpa terasa airmataku menetes.

Mama tak bisa berkata apa-apa lagi. Mama lemas terduduk, dan kini memelukku erat.

“Ikhlaskan aku ma, biar aku juga bisa ikhlas jika suatu hari harus pergi dari tubuh ringkih dan penyakitan ini.”

 

H minus 2

Mungkin kata-kataku kemarin membuat mama berpikir, karena hari ini tiba-tiba mama mengajakku dan Sandy, si tampan-ku, pergi bersama. Kita bertiga berkemah di pantai Anyer, mama juga mengijinkanku main banana boat, aku tidak menyangka ternyata ini sangat menyenangkan. Mama yang duduk paling belakang terguncang dan jatuh ke air duluan, lalu mama menarik pelampung kuningku, aku mencoba bertahan tapi aku terjatuh juga. Dan kini giliranku menarik pelampung Sandy dan waaaahhhh, hebat! Kira-kira dua menit Sandy mampu bertahan dari tarikanku, namun karena laju banana boat yang semakin kencang, akhirnya Sandy jatuh juga.

“Ha ha… Ha ha ha ha ha ha,” kita tertawa bersama-sama di atas air dengan pelampung berwarna kuning, seru dan menyenangkan sekali.

“Kamu senang sayang?” mama dari kejauhan menghampiriku sementara Sandy masih sibuk di ruang ganti dengan baju basahnya.

“Iya ma, Melati senang sekali, terimakasih.”

Nafasku kenapa tiba-tiba menjadi berat begini ya? Kenapa semuanya berputar-putar? Tubuhku mendadak dingin dan lemas, tapi tidak! Aku tidak ingin kelihatan lemah kali ini.

Ayo melati banguuuuuunnnn, tunjukkan kamu kuat Melati. Ya, kamu kuat, pasti kuat!

Aku bangkit dari tempat dudukku sekarang dan ternyata, darah. Banyak sekali darah dari tempat dudukku, ternyata aku terkena benda tajam tanpa sadar, sungguh tidak terasa sama sekali. Tapi kenapa darahku banyak sekali?

Tuhan, aku sangat lemas, aku… akuuuuuuu…

“Melati… Melati, bangun sayang, bangun!”

 

H minus 1

Rasanya tubuhku kali ini sangat ringan… aku di mana?

“Ma, kenapa mama menangis? Ma, siapa gadis itu? Kenapa mama menangisinya? Sandy juga, kenapa Sandy juga menangis? Siapa sebenarnya gadis itu?”

Aku melangkah pelan, masih terasa sangat ringan.

Deg! Itu… itu wajahku, kenapa aku? Apa aku… Tuhan, apa aku sudah pergi dari dunia ini? Apa ini saatku?

“Sebenarnya kenapa dengan Melati tante? Kenapa Melati bisa koma? Sejak kapan dia sakit? Kenapa dia tidak pernah mengatakannya padaku?”

Sepertinya benar, ini memang saatku pergi. Aku koma seperti kata Sandy tadi.

Aku terdiam sejenak, mendengarkan mereka berbicara.

“Ayah Melati dulu meninggal karena penyakit ini, beliau menderita hemofilia, penyakit di mana darah yang keluar dari dalam tubuh sukar membeku, aku bahkan tidak tahu sebelumnya, tapi kecelakaan itu memberitahuku semuanya, darah yang tidak bisa berhenti mengalir. Suamiku meninggal karena kehabisan darah. Kata dokter, perempuan sangat jarang terkena penyakit ini, aku bersyukur dan kalaupun ada, maka gejala-gejalanya sudah ada sejak si bayi di lahirkan. Tapi tidak dengan Melati, ini kasus yang aneh, gejala pertamanya muncul ketika dia menstruasi pertama. Melati pingsan berhari-hari dan darah menstruasinya tak mau berhenti mengalir. Dokter bilang anakku terkena hemofilia, dokter terpaksa memberi obat penyubur agar anakku tidak menstruasi lagi. Melati sering terluka dan memar-memar bila kecapean, tapi dia gadis yang tegar, tidak pernah sedikitpun dia mengeluh kesakitan, dia selalu tersenyum dalam sakitnya.”

Mamaku menangis sambil bercerita.

“Maafkan saya tante, saya tidak tahu kalau saja saya tahu, saya pasti akan lebih menjaganya.”

“Tidak ada yang salah Sandy, Melati yang mau begitu, dia ingin selalu tampak tegar di hadapan teman-temannya terutama di hadapanmu Sandy. Lima tahun lalu sejak Melati tahu kalau dia terkena hemofilia, dia jadi lebih sering belajar. Prestasinya meningkat, peringkat terbaik dan perlombaan yang hampir semua berujung kemenangan, ketika kutanya kenapa Melati semakin pintar sekarang? Dia menjawab, hidup Melati mungkin akan lebih singkat dari mama, karenanya Melati akan buktikan, Melati akan menjadi anak kebanggaan mama sebelum ajal menjemput Melati.

Kulihat mama terisak dan Sandy tak kuasa menahan air mata, Sandy juga menangis, menangis untukku.

Malam itu terasa begitu sunyi, dengan aku di samping tubuhku, agak aneh memang, tapi inilah yang terjadi. Entah kenapa aku lebih bahagia sekarang, tak lagi kurasakan sakit, tangan dan kakiku lebih ringan sekarang, seolah aku bisa terbang.

 

H minus 0

“Kalau Melati pergi sekarang, apa tante Litha ikhlas?”

“Insya Allah.”

“Kalau begitu katakan padanya tante, bisikan di telinganya, tangannya sangat dingin tante, mungkin dia ingin pergi tapi hanya menunggu tante mengikhlaskannya saja.”

Kuperhatikan wajah mama, matanya agak melebar.

“Apa aku harus begitu? Apa Sandy juga ikhlas?”

“Jika ini yang terbaik kenapa tidak?”

Mama mendekatiku, maksudku mendekati tubuhku yang sedang koma di tempat tidur. Mama berbisik di telingaku.

“Melati sayang, mama ikhlas kalau Melati lebih bahagia di sana, mama ikhlas kalau melati tidak sakit-sakitan dan terluka lagi, mama bangga memilikimu nak, lima tahun ini semangatmu lebih dari mereka yang normal, kamu anak terpandai, tercantik, dan terhebat. Pergilah dengan tenang, mama akan hidup dengan kenanganmu ini, Laa ilaa ha illallah muhammadarrasulullah.”

Tiba-tiba tubuhku terasa lebih ringan sekarang, dan aku, sepertinya ada yang menarikku, semakin ke atas dan ke atas menjauh dari Sandy dan mama. Aku ditarik oleh sebuah cahaya putih yang menyilaukan. Entah tempat apa ini tapi aku sangat bahagia, dari sini aku bisa melihat mamaku tanpa rasa sakit lagi. Aku juga bisa melihat Sandy. Sesekali dia menengok mamaku dan bercengkrama dengannya, tentunya membicarakanku, kenangan-kenanganku yang aku yakin tidak akan pernah hilang.

Hujan dan pelangi, dua hal yang sangat kucintai. Kurasa aku sudah menjadi mereka sekarang, aku tahu karena setiap muncul hujan dan pelangi mama dan Sandy selalu memandang ke arah langit dan menyebut namaku hampir bersamaan.

Aku hujan, aku pelangi,

Aku simbol keberhasilan meskipun sebentar,

Aku dulu fana, cepat sakit dan rusak,

Tapi dalam kefanaan itu aku berkata “jangan menyerah Melati, kamu pasti menang!”

Hingga tak ada ruang lagi bagi sesal,

Tidak ada yang hilang dariku kecuali tubuhku,

Karena di langit sana kalian masih bisa menemukanku,

Bersama hujan dan pelangi.

^__*

 

 

26 respons untuk ‘H minus 6

    1. Makasih mba Rizky. Yg beneran itu cuma trsinspirasi sm kisah sndiri yg dulu prnah jg sakit keras udah hopeless bngt. Tp sakitnya beda. Trs prestasi yg di atas jg fiksi mba, Cinta mah ga punya prestasi apa2 heeee ^__^>

      Disukai oleh 1 orang

      1. Bisa nulis itu prestasi loh.. gak banyak yg bs nulis kayak gini *termasuk aku* ikutin ke lomba2 aja, ntar juga menang hehehe

        Disukai oleh 1 orang

      2. Hehehe.. saya juga baru nyadar kalo bisa nulis itu termasuk bakat. Kmrn pas bilang ke ibu kalo menang, ibu bilang kalo itu punya bakat nulis hehe.. coba aja, krn kita gak tau kalo gak nyoba kan 😉

        Disukai oleh 1 orang

    1. Iya Libi. Ini trinspirasi dr kisah Cinta yg jg dulu prnah sakit. Sdkit bnyak tau gmn rasanya ga punya harapan, gmn rasanya brjuang meyakinkan diri-sndiri bhwa Cinta pst bs melaluinya. Aaaaaahhh pokoknya udah nangis smpe brdarah2 wktu itu. Eh lha koq sembuh, alhamdulillah, miracle bngt dr Tuhan. Sjak itu Cinta jd love love love bngt sm Tuhan. 😍😍😍

      Disukai oleh 1 orang

    1. Mmmmm gmn ya mas?

      Tinggal nulis aja mas. Apa yg ada di hati tulis saja hihi *sok pinter ^__^>

      Tp Cinta ga bs nulis puisi kyk mas Fattah, pgn bsa tp koq ga bisa2. 😐
      *malah curhat

      Disukai oleh 1 orang

    1. Fiksi kang Nur. Cinta emang dulu wkt kelas 3 SMP prnah sakit keras smpat hopeless jg tp alhamdulillah udah smbuh, dan pnyakit Cinta bukan itu. Cerita ini sdkit terinspirasi dg kisah sndiri yg dulu prnah sakit, ga boleh kmn2, ga blh kelelahan, ga blh bnyakan pikiran, boro2 naik gunung, acara camping di sekolah aja ga blh ikut. Ah pokoknya kl inget sdh bngt ga bs ngapa2in kang. Pdhal Cinta pgn bngt naik gunung, pgn lihat awan di puncak gunung yg serupa ombak krn trtiup angin, cuma bs lihat dr video kiriman tmn doank. Ah Cinta mupeng jdnya *eh koq malah curhat 😁

      Suka

Tinggalkan komentar