Gara-gara Batik


Cerpen gara-gara batik, 4012 kata


Ini satu-satunya cerpenku yang pernah aku ikutkan lomba ( lomba cerpen kebudayaan 2013 lalu yang diadakan oleh PPI Yaman, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Yaman ), dan hasilnya, tadaaaaaaa! Nggak menang ^__^>.
Tapi waktu itu, seseorang yang sudah kuanggap adek berinisial LS bilang, “Tenang aja ka, meskipun nggak menang, tapi karya kakak dibukukan bersama 29 karya terbaik lainnya.”
Hihi, syukurlah. Saat aku membuatnya, aku harus melakukan pengamatan langsung, dan perlu nara sumber untuk bertanya perihal kain yang digunakan untuk membatik, apa saja nama yang mereka gunakan untuk setiap gambar yang mereka tulis dengan malam lilin yang menurutku lucu, unik, dan kreatif, juga bagaimana proses pembuatannya.
Semoga yang membacanya nanti bisa mengenal “Batik”, salah satu hasil kebudayaan leluhur dari kota kecilku, Pekalongan. Aamiin.
Langsung saja yuks!

****************************************
Aku bersikeras mempertahankannya bukan karena aku menyukainya, bukan juga karena aku sering memakainya tiap hari, ini lebih dari itu. Ini hidupku, duniaku, ini juga ingatan terindahku tentang mereka… keluarga.
pic by http://www.pinterest.com
Dua puluh lima tahun bukan waktu yang singkat bagiku. Tapi kalau tentangnya, aku takkan jera. Karenanya, aku telah mendapatkan cinta dari makhluk terindah di dunia.
Dan pagi ini, seperti biasanya, bias wajahnya yang teduh, senyumnya yang mengembang setiap kali kedua kelopak bulat itu terbuka, seakan semua cahaya dunia ia pancarkan untukku lewat binar matanya, Subhanallah… terimakasih aku mendapatinya berbeda Tuhanku.
Dulu, aku dan dia sangatlah berbeda. Kalau aku bisa membuat suatu pengandaian, maka perbedaan kami adalah 1 : 1000. Tapi apalah yang tidak mungkin dengan satu kata itu, satu kata indah yang kutemukan dalam nama-nama terindah-Nya. forgiveness
Penasaran dengan ceritaku? Check this out! *__*

*****************************************

Langkah kaki kuda yang menarik delman, suara-suara surau yang tak pernah berhenti berkumandang, pantai-pantai di sebelah utara desa yang masih alami, desiran ombak bertemu pasir masih dapat kurasakan jelas dari sini, dan suara khas sulingan dari benda sebesar ibu jari namun sepanjang kelingking, dengan ujung runcing berwarna cokelat. Ya, itu maksudku, Canting.

Juga aroma khas malam lilin yang meninggalkan bekas hangat di kain putih. Sejenis kain yang selalu ditemukan dalam motif-motif indah berwujud sutera, dobby, paris, primis, santung, juga masih banyak jenis kain lainnya. Itulah mengapa Pekalongan disebut kota Batik, sekaligus kota Santri.

Batik, siapa kini yang tidak mengenalnya?

Aku bangga karena berasal langsung dari kota penghasil kain indah bermotif itu. Keseharianku sewaktu kecil juga tak lepas dari alat-alat pembuatnya.

Ibu yang pertama kali membuat kelowongan, aku sungguh kagum melihatnya, dengan cepat beliau melakukannya, pernah aku mencobanya karena iseng, tapi alhasil… “ Ira… mok kapakno iki kelowonganku? ( baca : Ira, kamu apakan kelowonganku? )”

Karena takut dimarahi, aku cepat-cepat sembunyi. Aku sadar itu sulit, tapi sedari kecil aku memang begitu, tak pernah mau kalah, tak mau menyerah untuk sesuatu yang aku yakini adalah benar.

Setelah yakin benar-benar tidak bisa, aku mencoba mengisi kelowongan itu dengan garis-garis, titik-titik, lilitan-lilitan indah yang biasa disebut kluweng, manggar, beras-berasan, tul, sawung, robyong, dan masih banyak lagi.

Lucu-lucu kan, nama-nama yang kami ciptakan? Iyalah, meski rata-rata orang tua kami tak berpendidikan tinggi tapi kami tak kalah kreatifnya lho dengan kalian.

Proses kedua adalah pewarnaan. Ayahku dan kakak-kakak iparku yang mewarnainya, kadangkala aku melihat telapak tangan mereka yang berwarna-warni setiap hari. Senin merah, Selasa hijau, Rabu kuning, Jumat ungu, Sabtu jingga, Minggu cokelat.

“Ayah, Ira melihat pelangi seminggu ini dan warnanya selalu berbeda, apa ayah melihatnya juga?”
“ Tidak nak, memangnya Ira lihat di mana?”
“Di tangan ayah, up’s hehehe.” Ayahku hanya menggeleng kepala waktu itu melihat tingkahku yang lucu.
Itu secuil kisah tentang keluargaku sewaktu aku kecil dulu, jadi jangan kaget kalau sampai sekarang aku sangat-sangat menyukai kain ini, kain ini adalah keluargaku, duniaku, juga hidupku.
Sekarang, aku sudah dewasa, up’s maaf, seharusnya aku bertanya dulu, apakah usia 23 tahun sudah bisa disebut dewasa? Karena setiap jawaban tentu relative pendapat masing-masing.
Aku meraih S1 3 bulan lalu, tepatnya Maret 2008. Dan sekarang aku ikut merantau dengan kakakku, entah kenapa aku tertantang pergi ke kota ini, kota seribu harapan, kota yang tak peduli namun juga menghasilkan kaum-kaum metropolis, liberalis, bahkan kapitalis.
Ya, aku di Jakarta sekarang, dan aku jadi guru di salah satu sekolah swasta favorit dan bonafit. Alhamdulillah, Allah membuat segalanya mudah untukku.
Dua tahun mengajar terlewati dengan mudah, ternyata tak seburuk yang orang sangka tentang kota besar ini, di sini juga banyak orang-orang yang berhati mulia, pengajian yang rutin seminggu sekali di masjid-masjid besar juga selalu diadakan, ini yang membuatku lebih betah karenanya, serasa kota Santri-ku ada di sini.
Peraturan sekolah yang tidak terlalu ketat membuatku leluasa memakai kain kesukaanku ini. Dari hari Senin sampai dengan Sabtu kubalut tubuhku dengan Batik. Aku membuat model yang sedemikian rupa sehingga terlihat sederhana, elegan, dan tetap cantik.
Ternyata hobiku ini dilihat Kepsek, sehingga beliau mengusulkan peraturan terbaru agar setiap hari Jumat, kami para guru diwajibkan memakai Batik, dan aku yang ditugaskan mendisain bajunya. Senangnya hatiku, serasa semakin dekat dengan keluargaku.

Ternyata, berkembangnya Batik di sekolahku tak berhenti sampai di situ. Warisan keluargaku itu, kini semakin pesat. Bahkan, pengurus yayasan di sekolah kami memesan langsung Batik kepadaku, kadang aku sampai kewalahan dibuatnya, tapi aku serahkan kepengurusannya pada ibu, aku percaya beliau pasti bisa mengatasinya dengan mudah.

Dengan kesungguhan, segalanya teratasi dengan mudah, sungguh tak ada yang sia-sia jika dalam setiap doa ada usaha.

Kini, aku punya butik Batik di dekat sekolahku.

Alhamdulillah Allah mempermudah jalanku, terimakasih.
Aku yang banyak bicara dan cenderung cerewet, tak bisa diam dalam sekejap, mungkin itu sebabnya sampai sekarang aku masih sendiri, mungkin para lelaki cenderung memilih wanita yang anggun, hanya bicara seperlunya seperti sabda beliau SAW “jika engkau mencintai Allah dan hari akhir, berkatalah yang baik atau diam.”
Dalam hati, sungguh aku ingin sekali seperti itu, tapi baru dicoba dua hari, sudah kembali lagi suara burung beo-ku ini. Ya sudahlah, toh semua manusia ada kurang dan lebihnya, semua ada porsinya, Ira. Kataku dalam hati.

Dan benar, Allah menunjukkanku  jalan lain, jalan yang kurasa baru bisa terjawab sekarang, kenapa aku cerewet dan tidak bisa diam, karena aku sedari bangku SD sampai universitas selalu aktif di kegiatan sekolah.
Bahkan sekarang, aku jadi aktivis sekolah. Pembina madding, pentas seni, setiap perlombaan sekolah diserahkan Kepsek kepadaku untuk memilih siapa calon murid yang pantas untuk ikut.
Ya Allah, segala puji bagi Engkau yang tidak pernah meninggalkanku sendiri. Segalanya masih terasa begitu mudah, kadangkala terbesit tanya dalam hati, Tuhan, sebenarnya apa rencana-Mu terhadap hamba? Apakah setelah dua tahun ini akan begitu sulit? Hamba masih tidak mengerti, kenapa begitu melimpah Engkau berikan karunia-Mu kepadaku?
Astaghfirullah, jangan su’udhon Ira, yang penting tetap istiqomah.
Berita duka muncul tiba-tiba, ketua yayasan sekolah kami, pak Ali meninggal dunia. Kami pihak sekolah sangat berduka. Hampir sebulan terlewati dengan keheningan.
Bagaimana tidak? Beliau sangat humble. Bahkan terhadap murid-murid kami, kesederhanaan tercermin dari sikap dan cara beliau menghadapi para murid. Aku juga sangat kehilangan, beliau seperti bapak kedua untukku.
Allah, tolong jaga pak Ali, berikan tempat terimdah untuknya di jannah-Mu aamiin.
“Apa? Pak Ali akan digantikan anaknya? Astaghfirullah, apa tidak ada yang lain?”
“Hah? Si sombong itu? Orang yang sok kecakepan itu akan keluyuran di sini?”
“Idih, si Orland itu jadi ketua yayasan sekolah kita?”
Suara-suara miring mulai memenuhi ruangan guru dari kemarin sore. Meski aku tak menanyakan tentang apa, kurasa aku sudah cukup bisa membaca situasi ini. Pak Ali akan digantikan anaknya, Orland yang baru pulang belajar dari universitas Oxford.
Tapi kenapa tak ada satupun suara positif untuknya? Tak apalah, yang penting selama dia tidak menggangguku, aku juga tidak akan mengganggunya.
Akhirnya hari itu terjadi juga, hari-hari beratku. Kurasa hari-hari tersulit sepanjang tahun ini. Masalah demi masalah semakin berkembang bahkan memuncak!
Hari pertama Orland masuk, aku sudah mengacaukannya dengan keterlambatanku. Keterlambatan yang tak kusegaja karena aku menolong seorang nenek yang tersesat, setengah jam berputar-putar di daerah itu akhirnya aku ketemu juga dengan alamat si nenek, syukurlah beliau bisa berkumpul dengan keluarganya.
Begitu aku masuk ke ruangan meeting, dengan sinisnya seseorang yang asing wajahnya berkata. “Oh, jadi ini toh yang namanya bu Ira, hmmm, cantik tapi kurang sopan, pertama saya datang sudah disambut dengan keterlambatan. Dan tunggu, apa ini? Pakaianmu ini kuno sekali, besok diganti ya, saya tidak mau melihatnya lagi!”
Fuih, koq ada ya orang seperti ini, ganteng sih, tapi… tukang kritik, angkuh, sok kuasa lagi. Pasti ini yang namanya Orland, pantaslah kalau semua guru tidak suka dengannya. Astaghfirullahal’adhiim.
“Ibu Ira, saya sedang berbicara dengan Anda, kenapa Anda diam saja?”
“Maaf pak saya terlambat, tadi saya mengantarkan seorang nenek yang tersesat di jalan, Alhamdulillah setelah setengah jam akhirnya ketemu juga rumahnya. Terimakasih sudah memuji saya cantik. Saya cantik sebenarnya karena baju yang saya pakai pak, baju yang bapak bilang kuno ini namanya Batik, sekali-sekali bapak harus memakainya karena kain ini bisa menunjukkan kesejatian bapak sebagai orang pribumi, insya Allah bapak akan lebih tampan karenanya.” Aku coba tersenyum sebisanya.
Kuperhatikan wajahnya tambah sinis, matanya memerah melihatku, sementara muka guru-guru yang lain di sana seperti sedang menyaksikan sinetron dalam adegan yang paling menegangkan.
“Ya sudah percakapan ini tidak usah diperpanjang lagi, saya juga tidak perlu mengulangi apa yang saya katakan di meeting tadi, ibu Ira silakan bertanya saja dengan yang lain bila perlu penjelasan, terimakasih dan selamat bekerja.”
Aku terpaksa harus bertanya dengan guru-guru yang lain soal meeting tadi, tapi syukurlah karena sebelum bertanya, sahabatku Ita sudah menjelaskannya lebih dulu. Ia juga menasehatiku sebagai senior, lebih baik jangan membuat ulah dengan pak Orland.
Apa? Pak Orland adalah kepala sekolah baru sekaligus ketua yayasan di sekolah ini? Dan aku sudah membuat kacau pertemuanku dengannya. Apa yang harus kulakukan?
Hari ini aku harus lebih baik, setelah kemarin kurang sopan dengannya, bagaimana pun beliau adalah pemimpin di tempatku bekerja, mungkin pekerjaannya terlalu berat jadi wajar jika sikapnya keras, mungkin aku saja yang belum mengerti dengan itu.
Keesokan harinya…
Aku memakai baju berwarna biru langit lengkap dengan tas berwarna sama. Kali ini, motif perempuan menggendong jamu, masih berbalut kain selendang lengkap dengan kebayanya. Ini motif Batik terbaru karangan ibuku lho! Sekali-sekali kalian harus melihatnya, bukan hanya bayangan lewat ceritaku ini karena pasti lebih indah.
Kuharap suatu saat pak Orland akan jatuh cinta dengan kain ini, semoga, aamiin.
“Zrrrrhhhhh” suara rem mobil yang tiba-tiba mengagetkanku, aku tak bisa lagi menjaga keseimbangan tubuhku, aku jatuh terduduk dan ,“hahhhh, bajuku…”
“Maaf nona, aku tidak sengaja, aku sudah mencoba mengeremnya, apa Anda terluka?”
Suara itu tidak asing, suara yang kemarin pagi menyindirku dengan kata “kuno”. Sebenarnya tak masalah karena aku tak terluka tapi bajuku, bagaimana? Baju yang ingin kutunjukkan pada pak Orlands agar jatuh cinta dengan batik malah beliau sendiri yang membuat baju ini kotor.
“Tidak apa-apa pak, hanya saja baju saya…” mukaku benar-benar lemas kali ini.
“Ya sudah karena saya yang salah, saya antar Anda pulang agar bisa berganti baju, baru kita ke sekolah.”
“Bukannya bapak akan berkata sinis lagi seperti kemarin? Karena saya terlambat?” kataku sedikit marah.
“Tentu tidak bu Ira, ini murni kesalahan saya.”
“Baiklah.”
Akhirnya, aku diantar pak Orland pulang ke rumah dengan mobil mewahnya.
Hmmm, sebenarnya orang ini tampan sih, coba saja kalau sikapnya baik seperti ini terus, pasti guru-guru akan dengan mudah menerimanya.
“Ada apa bu Ira? Anda sedang memperhatikan saya? Ada yang salah dengan pakaian saya?”
Ternyata beliau tahu kalau aku sedang memperhatikannya.
“Tidak pak, tidak ada yang salah, heee.”
“Kalau Anda ingin berkata saya tampan, saya tidak heran, banyak yang berkata seperti itu pada saya.”
“Apa? Tampan? Bagi saya tampan itu dari hati pak, bukan cover-nya saja!” Up’s mulutku nyeletuk sendiri.
“Dan bagaimana Anda bisa tahu hati saya kalau Anda belum mengenal saya ibu Ira?”
Kata-katanya kali ini membuatku bingung, kenapa aku harus lebih dalam mengenalnya? Aneh!
Hari pertama, penuh dengan pertengkaran. Hari kedua, dia sepertinya memberikan tanda yang aku tidak mengerti. Hari-hari setelahnya apalagi?
Sebenarnya pelangi itu tidak pernah pergi, ia hanya berpindah tempat. Kalau hari ini hanya terang, karena awan sebenarnya sedang mengumpulkan butiran-butiran hujan, dan kalau hari ini hujan, berarti waktunya akan semakin dekat. Ya, waktu pelangi membiaskan cahaya-cahaya berbentuk lengkung setengah lingkaran itu akan semakin dekat!
Sebenarnya, kata-kata itu hanya untuk menghibur diriku-sendiri. Aku sebenarnya sedang kalut, sangat kalut malah. Berdasarkan keputusan bersama, dinyatakan di sekolah ini tidak lagi boleh memakai Batik. Bahkan, hari Jumat yang biasanya harus memakai batik juga dihilangkan.
Kenapa jadi begini? Dan kenapa aku merasa peraturan ini hanya tertuju padaku?
Tuhan, kenapa pak Orland sangat membenci kain warisan keluargaku ini? Padahal ini sangat indah. Aku selalu bisa melihat keluargaku di Pekalongan dalam setiap goresan-goresannya, aku juga temukan kebudayaan Indonesia yang harus terus dijaga dan itulah yang menghiburku saat aku merasa sendiri. Tapi kini apa? Aku benar-benar merasa sendiri tanpanya.
Aku menentang keras keputusan si Orland itu, dulu aku memanggilnya dengan sebutan “beliau” atau “pak” karena menghormatinya, tapi sekarang ia tidak berhak menyandang kedua sebutan itu lagi. Di hatiku kini, ia hanya seorang Orland, Orland yang sombong dan angkuh.
Aku ini memang bandel, apalagi untuk sesuatu yang kurasa benar, aku tidak akan mengubahnya. Dan kalau dipikir lagi, peraturan yang Orland buat itu sangatlah diskriminatif, tidak diperjelas kenapa harus ada pelarangan tentang Batik, padahal bahkan mantan presiden RI kita, almarhum Kyai Besar Gus Dur telah berupaya keras agar Batik tumbuh dan berkembang, tapi si Orland, hanya karena sebentar saja di luar negeri, ia telah lupa segalanya tentang Indonesia.
Keseharianku di sekolah tetap sama, aku tetap memakai kain ini, meski para guru seringkali mengingatkanku tapi aku tidak memperdulikannya. Sudah dua kali aku dipanggil ke ruang Kepsek, aku juga kena SP (Surat Peringatan), dan kalau hari ini aku masih saja memakai Batik berarti ini SP3 bagiku yang berarti aku harus rela meninggalkan sekolah ini.
“Terlihat sangatlah naïf kalau kamu harus keluar karena Batik ini Ira, ayolah… turunkan egomu sedikit, kamu tidak akan menang dengan Kepsek kita, ingat pekerjaan kita, kita ini guru, seorang pembimbing, sebelum membimbing orang lain, harusnya kita memulainya dari diri-sendiri.” Ita berusaha mengingatkanku lagi, kali ini lebih serius dari biasanya, benar-benar membuatku terharu.
“Aku sayang kamu Ira, kita bersahabat sejak di bangku kuliah, sampai kita sama-sama menjadi guru di sini, tidak mudah menjadi guru di sini dan aku tidak mau kehilanganmu. Anak-anak juga, aku yakin mereka lebih tidak rela kehilanganmu.”
Ingin menangis rasanya mendengar kata-katanya yang terakhir ini. Tapi tidak bisa, jadi aku senyum saja sebisanya dan memeluknya erat.
Terimakasih atas kasih-sayangmu sahabatku, semoga Allah selalu menyayangimu seperti engkau selalu menyayangiku.
“Where there is desire there is gonna be a flame,
where there is a flame someone’s bound to get burned,
but just because it burns doesn’t mean you’re gonna die,
you’ve gotta get up and try… try… try…”
—–Pink—-
Kali ini, aku mendapat kekuatan lagi dari lagunya Pink,  Try. Aku tetap memakai baju batik lagi. SP 3 ada di depanku kini, tapi entah kenapa aku hanya tersenyum tipis dan…
“Terimakasih atas kesempatan yang telah bapak berikan kepada saya, sungguh suatu kehormatan besar bisa menjadi guru di sekolah sebonafit ini.”
“Ada satu pertanyaan terakhir yang membuat saya sangat penasaran, kenapa Anda lebih rela kehilangan pekerjaan daripada kain sederhana ini?” Kulihat Orland menatapku lebih tajam dari biasanya.
“Di sini, di setiap goresan-goresan ini, ada hasil kerja ibuku, beliau yang pertama kali membuatnya dengan tangannya yang lembut dan penuh cinta. Lalu di sini, di garis-garis ini saya yang membuatnya pak, dengan penghasilan yang mungkin kurang memadai tapi kami tetap melakukannya karena kami mencintainya.
Di setiap warna-warna indah ini ada kerja keras kakak-kakak iparku, ayahku, yang rela tangannya berwarna-warni setiap hari. Di sana ada tawa kebahagiaan. Kami memang sederhana tapi kami bahagia. Ada keluargaku di Batik ini, ada senyum dan tawa mereka, dengannya aku sungguh tidak pernah merasa sendiri. Ini warisan keluargaku, warisan leluhurku, warisan Indonesiaku! Apa saya salah mempertahankannya?”
Entah kenapa aku tiba-tiba menangis di hadapannya, aku sungguh tidak bisa menahannya lagi.
“Menjadi guru bisa di mana saja pak, tapi maaf saya tidak bisa kehilangan keluarga saya, mereka tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun, selamat siang pak.”
Hhhhh, aku menghela nafas panjang, akhirnya aku resmi dipecat hari ini. Kulangkahkan kakiku melewati koridor sekolah, agak gontai, rasanya berat sekali. Dan betapa kagetnya aku, di sana berjejer murid-murid menyalami dan memelukku satu demi satu.
Subhanallah, anak-anakku… maafkan Ibu karena harus meninggalkan kalian selamanya. Benar-benar maaf. Kuharap suatu saat nanti kalian akan mengerti keputusan ibu ini.
Hari ini terasa begitu panjang, aku benar-benar kehilangan pekerjaanku. Bagaimana aku harus hidup setelah ini?
Aku hampir lupa kalau aku punya butik sekarang. Aku meninggalkan sekolahku karena Batik, jadi ini saatnya membuktikan bahwa aku juga bisa hidup dengan Batik.
Dengan uang dari hasil tabunganku, aku bisa mengembangkannya. Tapi kalau pembuatannya di Pekalongan dan dijual di sini kurasa akan banyak kendala di pengiriman, jadi aku putuskan untuk mendirikan tempat produksinya juga di sini, bangunan yang semula selebar perumahan tipe 21 aku ubah menjadi tipe 36.
Di bagian belakang, aku jadikan tempat produksinya, sebelah kanan proses pertama yaitu penulisan dengan malam lilin, dan di sebelah kirinya kubuat agak luas. Di situlah proses pewarnaan dan proses pengeringan dengan sinar matahari langsung.
Untuk proses penjualan, aku tak mengalami banyak kendala. Karena aku telah mendapatkan pelanggan tetap sebelumnya. Alhamdulillah pelangganku kini semakin bertambah karena proses perluasan tempat ini.
Aku membuat suatu ruangan di mana para pengunjung bisa melihat langsung setiap proses pembuatannya. Bagi yang ingin mencoba membuatnya, ada juga tempat untuk mencoba dari penulisan, pewarnaan, sampai pengeringan.
Kulihat, para pelanggan sangat antusias. Mungkin karena ruang belakang berhadapan langsung dengan padang rumput yang lapang. Banyak di antara mereka yang berkata, “membatik membuat saya merasa tenang, ini sama seperti melukis atau menulis cerita, sama-sama karya seni yang secara tidak langsung akan meningkatkan frekuensi kerja otak kanan kita, ini baik untuk menghilangkan stress.”
Alhamdulillah jika itu benar adanya. Syukurlah kalau ternyata budaya langka yang satu ini bisa menghilangkan kepenatan.
Sebenarnya, pelangi itu tidak pernah pergi, ia hanya berpindah tempat. Hari ini mendung bahkan hampir menghujan, kurasa pelangiku kini semakin dekat. Tinggal menunggu hujan dan sedikit sengatan sinar mentari.
Lima bulan sudah aku benar-benar menggeluti bidang ini, aku juga membuka peluang bisnis online. Hasilnya di luar dugaan, setiap hari banyak pesanan dari sana-sini. Pekerjaku kini sudah 20 orang.
Alhamdulillah, kemarin aku mendapatkan piagam dari kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, sebuah piagam penghargaan karena telah melestarikan kebudayaan Indonesia.
Ternyata, bekerja di bidang yang kita sukai itu seperti menulis di kertas putih yang kosong, kita bisa menulis apa saja di sana, mengungkapkan apa saja isi hati kita, indahnya, jika hidup bisa seperti ini.
Tapi sebenarnya ada hal yang sampai saat ini mencemaskanku, aku merasa terkadang ada orang yang sering mengawasiku dari kejauhan, sosok yang tidak asing sepertinya, tapi…
Ah, tidak mungkin! Orland tidak mungkin mengawasiku, untuk apa? Apa untungnya untuk dia? Atau apa aku yang memikirkannya? Itu lebih tidak mungkin lagi!

“Gubraaakkkkkggkkkk! Astaghfirullahal’adhiim aku ini kenapa? Memikirkannya sebentar saja sudah membuatku limbung begini, sudahlah Ira, ganti topik yang lain saja,” Aku berbicara lirih sendirian sambil menepuk-nepuk pelan kepalaku sendiri.
Ternyata, kain batik yang tadi kulipat berjatuhan semua, tapi sebelum aku memungutnya, ada seseorang berperawakan tinggi mencoba membantuku mengambilnya satu demi satu.
“Hati-hati nona, jangan suka berbicara sendiri,” katanya pelan.
Suara itu… suara itu… suaranya Orland! Astaghfirullah, aku masih tidak percaya Orland di depanku kini, ia sangat tampan dengan kain Batik yang ia kenakan. Aku masih mengusap-usap mataku, apa aku bermimpi?
“Kaget ya melihatku memakai kain warisan keluargamu ini?” nada bicaranya sangat sopan, aku benar-benar seperti orang linglung. Orland yang angkuh dan sombong itu? Orland yang memecatku karena Batik dan sekarang ia memakainya? Aku masih tidak berkedip sampai ia menaruh tangannya di depan wajahku sekitar 5 cm sambil menggerak-gerakannya.
“Halllooooowwww.”
“Eee…eee.. pak… pak Orland, Anda di sini, de… dengan Batik? Subhanallah,” aku masih terbata-bata setengah tak percaya.
“Iya, ini aku nona Ira cantik, boleh aku melihat-lihat Batik koleksimu?”
“Boleh, silakan pak, biar saya panggilkan pelayan terbaik saya untuk melayani bapak, semoga bapak suka,” aku senang sekali, aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku kali ini, aku benar-benar membuncah kesenangan.
“Tapi saya mau dilayani nona Ira cantik, saya tidak mau dengan yang lain.”
“Baiklah kalau begitu, tapi jangan panggil saya cantik pak, cukup Ira saja.”
“Cantik karena saya tidak hanya melihat dari cover-nya saja tapi dari hati,” ia tersenyum memandangiku kali ini, senyuman yang tidak kumengerti.
“Anda masih ingat saja kata-kata saya, Anda juga tampan kali ini, benar-benar tampan.”
“Terimakasih.”
Pak Orland mengambil 3 Batik dari butikku, aku memberikan diskon khusus untuknya, aku ingin setelah ini ia lebih mencintai Batik.
Alhamdulillah Ya Allah, aku senang sekali hari ini.
“Saya ingin bicara empat mata denganmu nona Ira cantik, bisakah?”
“Sekarang?”
“Iya, kurasa ini waktu yang paling tepat!”
“Tapi, saya masih…”
Please.”
“Baiklah,” tidak tega juga melihat mantan bosku memohon.
Orland mengajakku ke rumah makan yang cukup mewah. Suasananya juga cukup romantis, aku tidak tahu apa maksudnya. Ia tak banyak bicara hanya memberiku sepucuk surat.
“Kurasa ini waktu yang tepat untuk nona Ira membaca surat ini.”
Anakku Orland,
Ayahmu ini semakin tua, kadang juga sering sakit-sakitan, ada satu permintaan ayah yang ingin sekali kamu penuhi, nak. Ayah sekarang tidak pernah merasa sendiri lagi, setiap kali ayah sakit, setiap kali ayah merasa sendirian, ada seorang wanita cantik yang baik hati.
Sikapnya yang ceria dan ramai membuat ayah semakin memiliki semangat hidup, bahkan ketika ayah sakit keras, setiap hari ia menengok ayah. Selalu bertanya ayah ingin makan apa dan ayah harus menyebutnya kalau tidak ia akan marah, dan setiap ayah sebut nama makanan itu, ia akan membawakannya keesokan harinya.
Ayah ingat kata-katamu nak, bahwa kamu menyerahkan jodohmu kepada ayah, ayah yang memilih untukmu, gadis itu paling cocok untukmu nak, gadis itu merawat ayah, laksana ia putri ayah sendiri, gadis itu juga sangat mandiri, teguh pendirian, mau mempertahankan prinsip yang ia yakini benar, dan ia sangat mencintai kebudayaan Indonesia… seperti ini kan ciri-ciri wanita idaman Orland?
Orland boleh mengujinya dengan apapun, ayah yakin dengan semangatnya, ia akan lulus ujian apapun yang Orland berikan. Tapi bila setelah diuji, gadis itu tidak membuatmu jatuh cinta, maka kamu boleh menolak perjodohan ini.
Gadis itu bernama Ira, ia guru terbaik di sekolah ayah, ayah bangga memilikinya.
Sampaikan salamku untuknya, nak. Salam sayang dari ayah. Dan seandainya kamu setuju dengan perjodohan ini, sampaikan surat ini untuknya, agar ia juga membacanya. Sampaikan kata-kata terakhir ayah ini, “Pak Ali ingin sekali Ibu Ira mau menjadi menantu pak Ali”
Seandainya ayah sudah pergi dari dunia ini ketika kalian membacanya, tolong jangan tangisi kepergian ayah, doakan saja semoga aku selalu dalam lindungan-Nya. Aamiin.

Dengan penuh cinta,

Ali Syafi’i

Tak terasa air mataku menetes membaca surat ini, ternyata pak Ali tidak pernah melupakanku, ternyata beliau menganggapku anak seperti aku menganggapnya sebagai ayah keduaku.
Tuhanku, semoga engkau selalu melindunginya, aamiin.
Lalu, bagaimana sekarang? Aku berhadapan dengan seseorang yang hampir setengah tahun lebih ini mengujiku? Ujian yang kupikir sangat berat sampai-sampai aku harus dipecat dari sekolah tempatku bekerja dan ini semua hanya demi sebuah ujian agar aku pantas dan layak menjadi istrinya? Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang, tapi yang jelas aku sangat marah.
“Aku mencintaimu Ira dan aku ingin kamu menjadi istriku.”
“Maaf pak, Anda sangat tampan, Anda pasti bisa dengan mudah mendapatkan wanita yang lebih cantik dari saya, saya harus segera pulang, masih banyak pekerjaan.”
Perasaanku campur aduk antara marah, sedih, dan kesal. Yang jelas aku sangat sangat kesal dengan wajah itu. Orland!
*****************************************
Di bawah kubah langit yang sama. Mungkin juga sedang memperhatikan desiran angin malam yang sama. Ketika malam mulai menutupi bumi perlahan dengan jari-jemarinya yang lembut, dititipkannya wajah dalam mimpiku. Sebuah bayangan dengan senyumnya yang juga lembut. Ya, aku melihat wajah Orland dalam mimpiku, terus dan berkali-kali setelah aku bermunajah pada-Nya.
Pic by http://www.pinterest.com
“Sayang, sudah selesai belum? Kita ada janji dengan client, jangan kelamaan nulisnya,” up’s, suara suamiku tersayang sudah memanggilku.
Ya, kalian pasti bisa menebaknya. Akhirnya aku memaafkan Orland dan aku menikah dengannya. Dia membujukku berkali-kali untuk kembali ke sekolah, tapi aku lebih mencintai dunia Batik-ku, cukup suamiku saja yang jadi guru, aku jadi pegusaha.
Dan buat kalian para pembaca, terkadang kita juga perlu menguji seseorang. Aku yakin, kalian akan semakin bangga memilikinya seperti suamiku yang selalu bangga padaku. Memang sih, ia tidak pernah berkata langsung, tapi binar matanya yang selalu berkata begitu.
Sebenarnya, pelangi itu tidak pernah pergi, ia hanya berpindah tempat. Kini sudah kutemukan pelangiku, pelangiku adalah suamiku.
Gara-gara Batik, aku selalu dekat dengan keluarga,
Gara-gara Batik, aku dicoba, diuji, dan dibuat susah,
Gara-gara Batik, aku hampir menyerah!
Namun gara-gara Batik, juga aku try… try… try… (seperti kata Pink di lagunya)
Gara-gara Batik, aku mendapat penghargaan,
Gara-gara Batik, aku jadi pengusaha.
Dan gara-gara Batik, aku menikah dengan pria paling tampan sedunia. Tampan bukan cuma cover saja tetapi hatinya juga.

notes :
canting        = tempat untuk malam lilin yang telah dipanaskan untuk kemudian ditulis di kain putih polos.
kelowongan = proses pembuatan Batik yang pertama kali dengan menebali gambar dari pulpen dengan malam lilin yang dipanaskan.

17 respons untuk ‘Gara-gara Batik

      1. 5 bulan, pasti lagi lucu2nya yah,,, kyk aku gtu lah :mrgeen:

        Btw Cerpennya bagus, walaupun kolom tulisan yang kecil, jadi berasa baca tajuk rencana di koran.. haha. Awal cerita enak banget dibaca, ada pengetahuan tentang batik, yang lumayan detail, tapi waktu tokoh Orlands masuk.. rasanya cerita ini jadi drama aja gtu,, FTV.. jadinya imaginasinya ilang, diawal kita diajak membayangkan proses pembuatan batik.. terus batiknya diperkenalkan di Kota.. tiba2 jadi Drama… mungkin lain kali, nyari jalan cerita lain,,, bakalan jadi bagus ini..

        Disukai oleh 1 orang

  1. Inspirasi cerita dari batik… Memperkenalkan batik ke penjuru dunia… Tetap semangat walau tidak menang lombanya… In sya Allah kesuksesan akan segera datang menghampiri

    Disukai oleh 1 orang

  2. Reblogged this on Cinta Nungky Lestari and commented:

    Dulu, waktu membuat cerpen ini tidak pernah terpikirkan aku akan menjadi seorang guru, alhamdulillah sekarang keinginanku sudah tercapai. Akan tetapi, bedanya, aku masih sendiri tanpa Orlanku. Semoga aku lekas menemukannya, amin. 😇

    Suka

Tinggalkan komentar