Soulmate – Sebuah kenangan atas cinta


311648_2994158513526_2016045303_n

My Memory,

At that moment I remembered it all

When I see those memories they seem so small.

You’re far away in a place that I can’t reach

I can’t wait for these words of love to be said

I really was to blame

Will I ever get to meet you again?

I can’t even imagine that

I still love you and now I’ll confess that to you

I wanna love you forever

It’s not too late

Be with me forever…

(My Memory by Ryu ost. Winter Sonata)

Kubiarkan dentingan lagu Korea yang begitu merdu ini mengalun di telingaku, beginilah caraku mengingatmu.

Memory, begitu aku menyebutnya.

Hmm… Tak terasa 20 tahun sudah aku berpisah dengannya. Ketika itu, kami berdua masih terlalu kecil untuk mengerti tentang cinta. Hanya saja, kami ini seperti dua bagian yang tak terpisahkan, bagaikan bunga dengan kumbang, sepeda dengan roda, langit dan awan, hujan dan pelangi.

Rona, begitu aku memanggilnya.

Sebenarnya itu bukan namanya, itu panggilan khususku untuknya. Karena ia adalah gadis  pemalu, mungkin yang paling pemalu dari yang pernah aku kenal. Pipinya suka sekali merona saat aku goda dan aku senang sekali menggodanya.

Pernah suatu ketika ia berkata padaku,

“Namaku bukan Rona. Namaku itu Keyla, hentikan memanggilku seperti itu!” ia bersungut-sungut karena aku terus saja menggodanya.

Ah, Rona, rasanya baru kemarin kita bersama.  Apa kau masih mengingatku? Karena selama ini tak pernah ada yang menggantikanmu di hatiku.

“Jangan pergi, kalau kau pergi aku bagaimana? Aku main dengan siapa? Jangan pergi, aku janji tak keberatan kau memanggilku Rona, asalkan kau tetap di sini, kau boleh menggodaku sepuasmu, aku takkan marah-marah lagi.”

Suaramu terngiang lagi. Suara yang manja, suara yang sedih dan begitu berharap.

Kualihkan pandanganku ke sebelah kiriku. Aku duduk di sebatang pohon kekar yang tak ada daunnya lagi. Akarnya yang kuat dan besar menjalar ke seluruh tanah yang hampir tak kelihatan lagi karena tertutup lapisan kapur berwarna putih. Kepulan asap yang terus-menerus menguap dari dasar kawah itu menambah indah suasana. Mungkin karena itu juga mereka, pendahulu yang tinggal di sini menamakannya sebagai kawah putih.

Ya, ini kawah putih kita Rona, andaikan ada kesempatan aku bertemu denganmu lagi, aku sungguh takkan membuatmu menangis. Aku takkan melepaskanmu lagi. Mungkin, aku akan memelukmu erat karena aku begitu rindu.

Tapi… Kau di mana sekarang? Nomor ponselmu saja aku tak tahu.

Kau menghilang dari hidupku, atau mungkin aku yang menghilang? Entahlah, aku tak tahu. Yang kutahu, saat itu ayahku harus pindah tugas ke Jakarta, dan aku dipaksa pergi dari sini. Andai kau tahu, begitu ayahku memintaku pindah, aku tidak makan 3 hari. Aku begitu tertekan, aku tak mau berpisah denganmu. Sungguh tak mau.

Apa ini yang disebut cinta semasa kecil? Kenapa begitu kuat mengalir di nadiku, seolah darah yang terus-menerus dipompa, tak mau berhenti mengaliri setiap sel-sel dan jaringan di tubuhku.

Tuhan, andai aku bisa bertemu dengannya saat ini, aku akan menjadikannya milikku selamanya, tak peduli seperti apapun ia, aku sungguh mencintainya. Aku yakin ia juga begitu.

Rona, tahukah kau? Sekarang, aku sudah menjadi seorang dokter. Kalau dulu kita sering main dokter-dokteran dan kamu yang jadi pasienku, sekarang aku benar-benar jadi dokter. Dan aku ingin kamu jadi pasien yang bisa kuobati kelak.

Rona… Rona… Rona…

Datanglah! Mungkin cuma hari ini aku bisa ke sini, besok aku akan pergi ke London, Alhamdulillah aku dapat beasiswa untuk meneruskan study-ku di sana.

“Rona, jangan jauh-jauh nak, ibu masih sakit… uhuks uhuks uhuks, besok saja kita ke sini lagi.”

“Tidak mau. Rona mau main di sini sepuasnya. Ibu pulang saja, Rona kan sudah besar, Rona tidak akan kenapa-kenapa.”

Ternyata aku tidak sendirian, ada dua orang perempuan di sini. Pertama, seorang anak kecil yang sangat lincah dan cantik. Entah kenapa pertama aku melihatnya aku langsung suka, mungkin karena namanya mirip dengan seseorang yang berarti di hidupku. Dan yang kedua, seorang wanita yang sulit kugambarkan, “kasihan” hanya itu kata yang tepat untuknya. Sebenarnya wajahnya sangat cantik, kulitnya juga putih mulus, hanya saja sangat lusuh. Wajahnya penuh dengan gurat-gurat kesedihan. Ia terengah-engah mengejar gadis kecil yang aku kira, itu adalah anaknya.

“Glubraggggggkkkkkk…!”

Tiba-tiba saja ia terjatuh, masya Allah. Cepat-cepat aku menolongnya.

“Nyonya, anda tidak apa-apa?”

Hah? Gelang itu, gelang di tangannya itu kenapa sama dengan punyaku? Gelang itu bukan gelang sembarangan. Ayahku membelinya ketika di Jerman, beliau bilang itu gelang yang sangat langka, aku bisa memberikannya kepada orang yang paling berarti, insya Allah ia akan menjadi milikku, begitu kata beliau. Apa ia… ah mana mungkin? Rona-ku pasti tidak seperti itu, kubayangkan ia sangat cantik, riang, dan sangat ceria. Tapi aku menemukan tanda lain. Bekas luka di pelipisnya, itu Rona, itu bekas luka karena aku pernah jatuh ketika menggendongnya dulu. Ya, ia Rona-ku!

“Rona, apa ini kau?”

Kulihat matanya menciut, alisnya agak turun, ia terkejut ketika aku memanggilnya begitu. Ia menatapku cukup lama, memperhatikanku dengan seksama, matanya tak juga berhenti memandangiku dengan tatapan yang tak kumengerti, sepertinya banyak rahasia yang ingin ia katakan, tapi mulutnya malah terkunci, matanya semakin sayu, bibirnya bergetar dan kini ia menangis, ia menangis di pangkuanku.

“Andy… uhuks uhuks uhuks, kenapa kau baru datang sekarang? Aku menunggumu begitu lama, setiap hari aku datang ke tempat ini, berharap kau menemuiku lagi seperti janjimu tapi kau tak juga datang, aku lelah… sangat lelah uhuks uhuks uhuks.”

Kini anak sungai itu mengalir deras dari dua buah pipi yang masih merona. Aku sungguh tak tega melihatnya. Ia menyentuh wajahku, ekspresinya sangat aneh, aku sulit melukiskannya. Tangan kanannya yang lembut menyentuh wajahku.

“Kau sangat tampan, sepertinya kau berhasil sekarang, aku senang melihatmu. Ya Tuhan, kuharap ini hanya mimpi, aku malu, kenapa kau harus melihatku seperti ini? Harusnya kau tak boleh melihatku seperti ini, aku sungguh berharap, ini hanya mimpi.”

Tiba-tiba saja tangannya terkulai lemas, matanya mulai redup dan kini ia tak sadarkan diri.

Masya Allah, aku tak percaya apa yang terjadi, kenapa Rona-ku jadi seperti ini?

“Ibu… ibu… kenapa dengan ibu? Apa yang paman lakukan? Kenapa ibuku tak sadar?”

“Tenang sayang, ibumu cuma pingsan, paman ini seorang dokter, ayo kita bawa ibumu ke rumah, kamu tahu jalannya kan anak manis?”

“He em, Rona tahu paman, ayo cepat, Rona ingin ibu segera bangun.”

Lalu aku, Rona dan Rona kecil menuju ke sebuah desa dekat taman wisata yang terkenal sangat romantic itu. Dengan mobilku, kami menelusuri perkampungan, selang sepuluh menit, sampailah aku di sebuah gubug yang kondisinya sangat memprihatinkan.

Astaghfirullahal’adhiiiim, kenapa Rona-ku jadi begini? Yang kutahu, dulu ia sangat bahagia, ia juga berasal dari keluarga berkecukupan pemilik perkebunan ternama di kota ini, tapi sekarang…

Aku segera memeriksanya, syukurlah aku membawa peralatan dokterku. Ia kelelahan, aku juga memeriksa tekanan darahnya, ternyata tekanan darahnya juga di bawah normal.

Bagaimana ini? Aku harus segera ke apotik terdekat, tapi apa aku harus meninggalkannya? Ah, itu tidak mungkin. Aku takkan tega. Tuhan, tolong aku, aku biasa memeriksa pasien, tapi aku tak pernah sepanik ini.

“Greeetttt!”

“Astaghfirullahal’adhiiiim, Keyla, kamu kenapa nak? Budhe sudah sering menasehati, jangan terlalu keras bekerja, kenapa bisa begini, tolong anak saya pak dokter”

“Budhe Lastri.”

“Pak dokter mengenal saya?”

“Ini saya budhe, Andy yang kecil dulu. Andy temannya Rona.”

“Andy, masya Allah, untunglah kamu datang nak, kemana saja selama ini? Keyla sangat kehilanganmu nak.”

“Maaf budhe, saya baru datang sekarang, insya Allah saya akan menyembuhkan Rona”

Aku meninggalkan Rona bersama budhe, Alhamdulillah apotiknya dekat, tak lebih dari seperempat jam perjalanan pulang-pergi ke apotik itu. Aku mendesak budhe Lastri untuk menceritakan semuanya, agak sulit memang, namun aku bersikeras, akhirnya budhe luluh juga.

Kini mulailah budhe bercerita.

10 tahun yang lalu, keluarga besar Rona mengalami kecelakaan ketika sedang bepergian, hanya Rona yang selamat. Rona sangat shock, ia bahkan trauma, hampir 1 tahun ditangani psikiater. Akhirnya ia berhasil sembuh, lalu di tahun kedua setelah kecelakaan itu, perkebunan milik keluarganya bangkrut, banyak yang korupsi, kepengurusan yang kurang transparan membuat perkebunan itu jatuh dan terpaksa harus disita oleh pihak bank karena banyak tunggakan.

Budhe menceritakan semuanya dengan linangan airmata, ah kalau saja aku bukan lelaki, aku pasti sudah menangis dari tadi, tapi aku lelaki, ego-ku melarang berbuat begitu.

Masih, budhe Lastri masih melanjutkan ceritanya. Ada lelaki kaya yang sangat mencintai Rona, ia ingin meminangnya, 3 tahun mendekati Rona, namun Rona sama sekali tak mempedulikannya, hari-hari yang ia lakukan setelah itu adalah memandangi kawah putih, menunggu kedatanganku, berharap aku akan datang ketika itu untuk melepaskan segala duka yang dirundung jiwanya selama ini.

Aku tak juga datang.

Satu,

Dua,

Tiga,

Empat,

Lima… lima tahun ia menantiku, namun aku tak juga datang.

Sirna sudah semua harapannya, ia tak ingin hidup dalam bayang-bayang semu. Akhirnya Rona luluh juga dan menikah dengan pemuda itu, tapi bukan karena cinta, melainkan karena ia ingin bersandar pada seseorang, mungkin ia lelah saat itu, lelah dengan derita yang berkepanjangan, aku tak menyalahkannya. Pernikahan yang diluar dugaan. Bukan kebahagiaan yang didapat tapi malah penderitaan. Lelaki itu ternyata suka main perempuan, ternyata perlindungan yang Rona harapkan justru adalah duri yang mematikan.

3 tahun Rona menanggungnya, dan ia tak tahan lagi. Akhirnya ia bercerai. Rona bercerai setelah memiliki seorang anak perempuan berumur 2 tahun dari lelaki tak bertanggungjawab itu.

Kasihan sekali kau Rona, 10 tahun ini kau begitu menderita. Andai aku bisa mengganti semuanya, semua kesedihan yang kau alami, aku pasti akan melakukannya.

“Di mana aku?” bola mata Rona bergerak-gerak, perlahan namun pasti ia mulai sadar.

“Kau di sini Rona-ku sayang, bersamaku kau tidak akan bersedih lagi,” entah kenapa tiba-tiba kata itu meluncur dari mulutku, rasanya aku tak bisa menahannya lagi.

“Andy, jangan memanggilku begitu, kau membuatku malu,” Rona tak pernah berubah, pipinya selalu merona ketika aku menggodanya atau mengatakan panggilan sayang untuknya. Rona bangun dari tidurnya, diiringi dengan kedatangan budhe Lastri membawa obat yang tadi kubelikan di apotik terdekat. Percakapan kami berhenti sejenak. Tak lama budhe pergi, sepertinya beliau paham, sedang ada pembicaraan serius antara kami.

“Aku bukan Rona-mu yang dulu, aku sekarang adalah janda miskin yang lusuh, aku tak pantas menyandang nama Rona lagi,” matanya kembali surut, seolah langit mendung yang hampir menghujan.

“Kau tidak berubah. Setidaknya itu yang kurasakan, entah apa kau merasakannya. Kau masih tetap merona ketika kugoda, masih tetap cantik dan baik hati, maaf aku baru datang sekarang, kuharap belum terlambat bagiku jika aku ingin bersamamu. Rona, menikahlah denganku. Jadilah istriku, insya Allah aku akan membuatmu bahagia, aku juga akan menerima Rona kecil sebagai anakku sendiri, budhe Lastri sudah setuju, kini aku menunggu keputusanmu Rona, maukah kau menikah denganku sayang?” aku memegang tangannya erat, aku ingin ia yakin tentang perasaanku.

Tapi sayang, ia menepisnya.

“Tapi aku tidak mencintaimu lagi. Jadi pergilah, dan jangan ganggu aku lagi. Terimakasih sudah merawatku,” Rona hampir melangkah keluar, tapi sebelum itu, aku sempat menarik tangannya.

“Tunggu, aku belum selesai bicara, kumohon dengarkan aku dulu, 10 menit, hanya 10 menit saja, setelah itu kau boleh pergi.”

Rona kembali duduk di tempatnya.

“Apa kau tidak mencintaiku lagi Rona?”

“Aku sudah menjawabnya tadi.”

“OK, fine, tapi bagaimana jika aku menemukan bukti jika kau masih mencintaiku?”

“Sayangnya, kau tidak akan menemukannya.”

“Kenapa kau menamai anak gadismu Rona?”

“Itu… Itu karena aku suka nama itu, apa aku salah,” jawab Rona sedikit gugup.

“Kenapa kau masih memakai gelang pemberianku?”

“Karena aku suka, dan karena ini adalah milikku kenapa aku tak boleh  memakainya?” jawabannya lebih tenang sekarang.

“Pertanyaan terakhir, mengapa dulu kau ke kawah putih setiap hari dan kejadian itu berlangsung selama 5 tahun? Apa kau menungguku di sana?”

“Itu…. Itu….eee…eee…itu karena aku suka kawah putih.”

“Jangan mengelak lagi, budhe sudah menceritakan semuanya, aku mohon Rona, ijinkan aku menjadi bahumu sekarang,” aku mendekat padanya.

“Aku tak pantas untukmu. Lihatlah aku sekarang, lusuh, miskin, janda, punya anak, dan ditinggalkan suami, apa yang kau harapkan dari wanita sepertiku? Apa? Bahkan mentari saja sepertinya sangat malu untuk menyinariku, aku terlalu hina untuk disinarinya,” katanya sambil menunduk.

“Kau tidak hina, kau tidak memalukan, kau tetap suci bagiku, sesuci cinta kita yang tidak pernah ternoda oleh apapun.”

“Kemana saja kau? Aku lelah. Aku lelah menunggumu, kenapa kau baru datang? Aku ingin sekali mengatakan semuanya padamu tentang rasa sakit ini, tentang kesepian ini, aku berteriak-teriak tapi kau tidak datang. Aku… Aku ”

“Maaf sayang, aku minta maaf, aku terlambat, aku membiarkanmu terluka sendirian, tapi aku janji akan mengganti semua yang hilang dengan keberadaan, ijinkan aku melakukannya, ijinkan aku membuatmu bahagia.”

Rona menangis tersedu-sedu, dan kini ia memelukku, erat sekali.

“Tolong aku, tolong bawa aku keluar dari sini, dari rasa  sepiku, dari sakit hatiku, dari lukaku, aku tak tahan lagi. Jangan pergi lagi, kau harus bersamaku selamanya.”

“Insya Allah, selama aku bernafas, aku takkan pergi darimu, aku, kau, Rona kecil, dan budhe Lastri, kita pasti akan bahagia.”

Tak sulit membujuk kedua orang-tuaku, karena sejak kecil mereka sudah menganggap Rona sebagai anak mereka sendiri.

11 Juni 2016.

Akhirnya aku menikah dengan Rona-ku, di kawah putih, tempat kita pertama kali bertemu, tempat kita memadu kasih semasa kecil dulu.

Kami tinggal di London sekarang, aku meneruskan S2-ku di sana.

Alhamdulillah kami bahagia.

Cinta bagiku bukanlah kesempurnaan, melainkan menyempurnakan.

Melengkapi dan saling mengisi dari yang hilang menjadi keberadaan.

Cinta lebih suci dari sekedar jiwa yang mewujud,

karena sebenarnya ragalah yang bersemayam di dalamnya.

Aku telah menemukan kepingan ragaku di tubuh Rona, aku yakin ia juga begitu.

She is my soulmate, and I wish it’ll last forever, amien.

^_^

2 respons untuk ‘Soulmate – Sebuah kenangan atas cinta

Tinggalkan komentar