Kado untuk Ian ( Part 3 )


Bayang-bayang

3194127400                        pic by : http://www.photographer.net

Cinta PoV

Tahukah kamu apa arti bayang-bayang?

  1 ruang yang tidak kena sinar karena terlindung benda; 2 wujud hitam yang tampak di balik benda yang kena sinar; 3 gambar pada cermin, air, dan sebagainya; 4 rupa (wujud) yang kurang jelas dalam gelap; 5 gambar dalam pikiran; angan-angan; khayal; 6 tanda-tanda akan terjadi sesuatu; 7 sesuatu yang seakan-akan ada, tetapi sebenarnya tidak ada; 8 sesuatu yang sudah siap bekerja bilamana diperlukan.

Itu tadi, semua arti yang kudapat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online. Tapi, bayang-bayang yang ingin kuceritakan ini lebih seperti arti no 2 dan no 4 namun ia jauh lebih nyata, lebih hidup, dan lebih menyebalkannya lagi, ia selalu mengikutiku kemana-mana.

Tepatnya 2013 silam, bayang-bayang itu mulai mengikutiku. Sesekali ia berujar, anggap saja aku ini angin, yang tak tampak tapi selalu kau butuhkan untuk hidup, kau mungkin akan menganggapku pengganggu, tapi aku yakin, kelak kau akan membutuhkanku.

22 Juni 2013, tepat setengah tahun setelah Ian pergi, aku nekat ke Tromso sendirian, sebuah kota di bagian Utara Norwegia, hanya untuk melihat aurora, sebuah fenomena alam yang sangat disukai Ian. Jujur, suasana hening dan syahdu itu seketika pecah karena suara baritonnya.

“Hei, Cinta, jangan mewek dong, katanya kuat, kemana-kemana sanggup sendirian, lah sekarang koq mewek? Nih pake saputanganku saja, udah gede koq masih cengeng, malu-maluin aja, hahaha!”

Cara bicaranya yang spontan tanpa jeda itu membuatku kesal. Meski tak kupungkiri, lelaki ini selalu saja hadir saat aku butuh teman. Sikapnya kasar dan sama sekali tak romantis, tapi aku tahu sebenarnya ia tipe pria yang peduli. Buktinya, saat itu sebuah jacket tebal sudah ia lekatkan di badanku, berikut saputangan yang katanya menandakan aku cengeng, sudah mendarat di kedua telapak tanganku.

“Jangan khawatir, aku melakukan ini karena kau adalah warisan adik sepupuku, aku takkan mengganggumu, aku juga takkan menghapus kenangannya darimu, hanya saja, biaran aku tetap menjadi bayanganmu, setidaknya biarkan aku memenuhi janjiku padanya.”

Lagi, kejadian yang sama pula di tahun yang berbeda.

27 Juli 2014, ketika kami mengikuti 35th Bali Kite Festival di pantai Padang Galak, Sanur, Denpasar, Bali. Ia juga tak henti mengikutiku, dari pagi hingga petang. Bahkan saat kukira aku sedang sendirian dan berujar,

“Hey, my west wind, please fly away my kite, hurry up! And if you can, tell to my boy, I’ve been missed him so much!”

Ia menyahut tanpa kusadar dari belakang, “Ian pasti juga merindukanmu, tapi aku yakin, sepupuku itu akan lebih senang jika kau bisa merelakannya dengan ikhlas.”

Deri.

Deri, si penguntit atau bayangan, begitu aku menyebutnya. Pertama, kami tak punya hubungan apa-apa kecuali hanya teman satu geng kuliah. Kedua, kami punya hubungan yang aneh ini karena Ian, yang notabene adalah adik sepupunya. Ketiga, tak jarang sahabatku, Sinta, pacar Deri, memarahiku atau salah paham padaku, karena Deri suka mengikutiku. Aku bahkan harus menjelaskan panjang lebar pada Sinta bahwa aku tak punya rasa, lalu Sinta akan kembali mengerti dan menyuruhku untuk bersumpah tak menyukai si penguntit itu.

Ian…Ian, aku ini sudah besar, aku tak perlu seseorang untuk menjagaku, sungguh aku tak membutuhkannya. Kenanganmu bukan membuatku melemah, justru membuatku semakin kuat! Aku jadi bisa merangkai setiap kata demi kata untuk mengingatmu, aku tak perlu banyak orang karena aku selalu merasa ada kau di sini, di sisiku. Aku, Cinta, adalah gadis normal seperti juga gadis lainnya. Tapi…kalau kau bersikukuh ingin menjagaku, lakukan saja sendiri, muncullah di hadapanku sesekali, aku janji takkan takut, aku akan menyambutmu dengan senang.

“Perhatian – perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 716 tujuan Melbourne – Australia, dipersilahkan naik ke pesawat udara. Penumpang yang membawa anak-anak dan orang tua yang membutuhkan pertolongan dipersilahkan naik kepesawat terlebih dahulu. Terima kasih.”

Syukurlah, kali ini aku yakin Deri tidak akan menemukanku, pasalnya, aku sudah menelpon Sinta jam 20.00 wib tadi kalau aku tiba-tiba ingin pergi ke rumah nenek di Lembang, kuharap Deri akan menyusulku ke Lembang.

Aku sengaja memilih jadwal penerbangan malam hari jam 22.30 dan perkiraan sampai di bandara Tullamarine Melbourne adalah jam 08.00 pagi. Sekarang aku bisa duduk tenang karena tak perlu bertemu si penguntit itu.

“Maaf mas, anda sepertinya salah kursi, itu kursi saya mas, ini nomornya” Aku mencoba berbicara seramah mungkin dengan lelaki asing yang menempati tempat dudukku.

Tapi lelaki asing itu tak bergeming, apa ia tertidur?

“Mas, hellow, mas, bisakah mendengar saya?” Aku masih mencoba berbicara dengannya.

Tak lama ia membuka syal yang menutupi mukanya, kini yang tertinggal hanya kacamata hitam dibalik hidung mancung dan wajahnya yang oval dengan sedikit jambang di kanan-kiri pipinya.

“Aku tahu ini kursimu, Cinta, tapi aku juga sangat paham kalau kamu lebih menyukai kursi dekat jendela, iya kan? Makanya, duduk saja di situ, anggap aku angin seperti biasa!”

OMG, pengutit!

16 respons untuk ‘Kado untuk Ian ( Part 3 )

Tinggalkan komentar